130. Berangkat ke Singaraja
Saat terjaga jam empat pagi. Lorna meminta membawanya serta ke kamar mandi. Lalu berendam bersama dalam air hangat di bak mandi setelah mengulangi bercinta selama kurang lebih seperempat jam.
Tak ada lagi sekat yang membatasi, tak ada lagi norma yang bisa membelenggu keduanya melakukan yang menurutnya baik, selain komitmen, karena telah menganggap kedaunya sebagai suami-isteri.
Meski masih menyisakan pertanyaan di hati Lorna walau enggan menyampaikannya, benarkah Dewa masih perjaka setelah sekian tahun menikah dan tinggal serumah dengan Nirmala? Dia takut menyampaikan pertanyaan itu, sebab akan menimbulkan ketidakpercayaanya. Namun, yang menghibur dan mengalahkan kecurigaannya, bahwa pernikahan Dewa dengan Nirmala, tanpa diawali proses membangun tali kasih, seperti berpacaran, selain hanya menuruti kehendak orangtuanya. Sebagai anak yang berbakti, dan cinta pada orangtua, serta ingin menyenangkan bundanya, yang membuatnya tak ada pilihan selain menikahi Nirmala.
Menurut Lorna, wajah Nirmala cukup cantik, kecantikkan karakter gadis Jawa. Melihat sepintas dari lukisan yang dibuat Dewa, cukup baginya menangkap aura yang tercermin di wajah lukisan itu.
Dewa pernah mengungkapkan, almarhum isterinya itu, punya kepribadian dan karakter yang baik, walau menimbulkan rasa iri. Bila Dewa mengatakan masih perjaka, bukan oleh sebab tak pernah berhubungan badan dengan almarhum isterinya, namun ada sebab lain, bahwa dia tak bisa melakukannya dengan wanita yang didasari atas keterpaksaan.
Boleh jadi, Lorna bisa berbangga diri, cinta Dewa hanya untuknya, hal itu pula yang membuat terobati kekecewaannya. Apalagi Dewa sudah mengatakan bahwa keperjakaan yang diberikan kepadanya beberapa hari lalu, merupakan kali pertama dirinya melakukan hal seperti itu, walau cara untuk melakukang belum pernah dibayangkan oleh Lorna sebelumnya. Menurut Dewa itu adalah cara terbaik agar keperawanan Lorna secara fisik masih utuh, meski makna keperawanan itu sendiri sudah diberikan kepada Dewa.
Dewa menilai Lorna benar-benar gadis yang masih suci, yang masih awam pengetahuannya tentang sex. Sungguh kontradiktif dengan akses mendapatkan informasi tentang persoalan sex begitu terbuka, dan mudah di internet. Setidaknya Dewa mencoba mempercayai, bahwa tidak tertutup kemungkinan Lorna pernah mengakses situs tersebut. Tapi pikiran negatif berusaha ditepiskan, lantaran yang dirasakan saat bercinta, gadis itu begitu lugu, walau kemudian cepat menyesuaikan, untuk membuat Dewa bahagia.
"Masih mengantuk?" bisik Dewa lembut.
Lorna yang memejamkan mata, segera memuka kelopak mata, segera tersadar dari lamunannya. Sementara air hangat masih merendam tubuhnya. Dewa masih memeluk serta memperlakukannya penuh kasih sayang, hal yang hanya didapat dari Dewa.
"Kita sudahi mandinya?" tanya Lorna.
Mereka lantas keluar dari bak mandi. Dewa mengecup kening Lorna sebelum keduanya keluar dari bak mandi.
"Terima kasih, Na."
"I love you, De."
Dewa mengecup bibirnya sesaat.
"Kita hanya tinggal membenahi pakaian kotor. Lorna ke depan, menyelesaikan pembayaran pemakaian; minuman dan camilan dari 'bar kecil' di kamar."
Lorna tersenyum.
Keduanya segera membasuh diri di bawah shower. Dewa bisa melihat tubuh indah Lorna yang tanpa canggung membiarkan diperhatikan dan dibasuh.
Lorna sendiri bisa melihat tubuh atletis Dewa, dan segala yang ada pada diri Dewa yang semakin membuatnya sulit jauh dari Dewa, semakin mencintainya, apalagi tubuhnya seperti sudah milik Dewa sepenuhnya.
Hari masih gelap. Ayam dalam kurungan yang ada di tengah taman, sudah berkokok sebelum keduanya bangun. Beberapa burung pagi sudah keluar sarang mulai berburu serangga dan ulat di antara daun dan ranting pohon.
Grace dan Rahma sudah pula bangun. Titi sudah menyiapkan minuman hangat dan roti lapis. Komang juga sudah datang, membantu memasukkan barang ke mobil. Dewa dan Lorna sudah berdandan. Keduanya mengenakan celana jean dan t-shirt.
"Sudah siap?" Dewa bertanya
Lorna mengangguk. Saling berdiri. Saling memandang.
"Aku mencintaimu!"
"Aku juga mencintaimu!"
Lalu saling memberi kecupan bibir.
"Rambutmu masih basah."
"Dewa juga. Sambil kita keringkan."
"Biar koper dan tas aku yang bawa ke mobil."
Titi segera masuk setelah pintunya dibuka oleh Dewa.
"Bungkusan ini berisi pakaian kotor. Jangan lupa sesampai di hotel di Singaraja segera dilondre," kata Lorna kepadanya.
"Baik, Non! Minuman sudah Titi siapkan untuk sarapan."
"Terima kasih. Kita cari makan di perjalanan."
Rahma muncul menyapanya. Mengantarkan komputer tablet yang dipakainya semalam.
"Pagi, Na! Pagi Dewa!"
"Pagi, Rah!" jawab Lorna dan Dewa hampir bersamaan.
Dewa lalu memasukkan komputer itu ke dalam tas besar Lorna.
"Pagi, Lorna!" sapa Grace yang muncul kemudian.
"Met pagi, Grace!"
"Rambutmu masih basah, belum kering benar. Dewa juga."
Lorna membeliakkan mata.
Dewa tersenyum walau tak memperhatikan.
"Antar aku ke depan. Aku mau ke kasir!" kata Lorna seraya menarik pergelangan tangan Grace untuk diajak ke bagian pembayaran penginapan, "Pagi-pagi omonganmu sudah ngaco!"
"Walah, apanya yang ngaco. Kan benar rambutmu masih mamel."
"Iya, tapi bikin interpertasi..."
"Interpertasinya, kan kamu yang tahu persis."
Lorna mencubit lengan Grace.
"Habis sih, berdua keramas."
Langit di timur pulau Bali, di atas selat Lombok membersit warna kemerahan saat mobil mereka meninggalkan Karangasem.
"Breakfast di mana enaknya, Komang?" tanya Lorna masih menyisir rambut.
"Di Seraya sambil menikmati matahari terbit di atas selat Lombok."
"Di mana itu?"
"Lereng gunung Seraya. Atau langsung ke utara?" tanya Komang seraya memperlambat laju kendaraan.
Lorna tak menjawab. Masih sibuk mengurusi rambut. Berharap Dewa yang mengambil keputusan
"Maksud, Komang?" tanya Dewa.
"Kita naik ke Seraya untuk sarapan. Kemudian kembali lagi ke Karangasem, baru ke Padangkerta, Tirtagangga, Culik, Ahmed, ke Kubu dan seterusnya. Tapi, kalau langsung, bisa sarapan di Tirtagangga."
"Bagaimana?" tanya Dewa pada Lorna.
"Terserah Dewa."
"Kalau kita ke Seraya, kita akan kehilangan waktu, karena kita akan kembali lagi ke Karangasem sebelum ke Padangkerta seperti yang dijelaskan Komang," Dewa menambahkan.
"Grace? Rahma?" tanya Lorna.
Keduanya ikut saja. Diajak pergi jalan-jalan seperti ini, bagi keduanya sudah syukur.
"Oke, kita ke Seraya, breakfast seraya menikmati pemandangan dan berfoto," jawab Lorna.
Komang segera tancap gas menuju Seraya. Yang lain masih menikmati sarapan roti lapis dan minuman hangat dengan gelas plastik. Minuman panas tersimpan banyak di dalam thermos yang sudah disiapkan sebelumnya.
"Dewa mau minum, ya?"
"Nanti, kalau aku pingin..." Dewa menolak.
Rambut Dewa sudah mulai mengering. Saat dia menyibakan ke belakang, rambutnya mengurai, menyebarkan aroma shampo. Lorna membantu menyisir rambut Dewa yang hitam dan panjang. Rambut Dewa juga tebal sedikit ikal.
"Biar kering benar, baru diikat ke belakang."
Dewa tersenyum, membiarkan Lorna mengurus rambutnya. Rambut Dewa terawat baik. Dewa punya tukang potong rambut langganan. Yang akan datang ke rumah bila dirasakan panjang rambutnya perlu dipotong. Biasanya Gino yang menjemput.