129. Making Love.


Ada dilema yang dirasakan Lorna terhadap perjalanan mereka mengelilingi Bali. Dimana keinginannya terasa berbenturan. Di satu sisi, ingin sekali benar-benar menikmati perjalanan, khususnya bisa melakukannya bersama Dewa, serta membahagiakan dua sahabatnya, Grace dan Rahma. Namun di sisi lain, tidak ingin masalah biaya akan membebani keuangan Dewa, meski Dewa telah membantah tidak merasa terbebani, terlepas apakah ucapannya sekedar untuk menyenangkan.
Menimbulkan pikiran negatifn Lorna ingin segera menyudahi atau setidaknya mempercepat atau mempersingkat rute liburan mereka. Lantas alasan apa yang akan dia gunakan? Sekiranya mereka tidak saling berlomba menutupi pengeluaran, tentu pikiran semacam itu tidak akan timbul. Bila semua biaya yang dikeluarkan bisa ditanggungnya, bisa dipastikan waktu berlibur akan dituntutnya lebih panjang.
Namun Dewa ingin mereka tak membicarakan perihal biaya. Suka atau tidak hal itu harus diterima sebagai kenyataan ego Dewa bila tidak ingin menimbulkan masalah.
Apakah sebaiknya berterus terang membahasnya? Bila tidak. Dirinya merasa tak bisa bebas dan nyaman, tidak bebas menentukan setiap keinginannya, takut  membebani keuangan Dewa. Ikutnya Titi, pembantunya, lalu Grace dan Rahma, seharusnya jadi bebannya bukan tanggungan Dewa.
Sebenarnya Dewa memahami itu. Yang dilakukannya tak lebih dari keinginan menyenangkan Lorna. Kembalinya Lorna dalam kehidupnya, sebagai pencapaian harapannya selama ini yang patut dirayakan. Dewa bukan keberatan Lorna menutupi pengeluaran. Dewa tahu Lorna. Sejak dulu selalu menjadi juru bayarnya. Ada sebab lain yang tak dipahami Lorna. Yakni harga diri sebagai lelaki, ego lelaki adalah kelemahan yang sulit dipahami wanita.
Dewa merasa harus menentukan sikap, agar Grace, Rahma atau pun Komang, tidak beranggapan Lorna yang mengatasi semua biaya yang mereka keluarkan.
Lorna kembali ke dalam kamar membawakan minum untuk Dewa yang sedang berdiri termenung di teras. Sikapnya tertangkap Lorna walau sudah berusaha menutupi.
"Kenapa tak meminta bantuan, Titi? Dalam 'bar kecil' kan ada minuman dan makanan?"
"Ya, tahu. Tapi kan dingin. Dewa mau? Kuambilkan bila mau. Setahu Lorna, Dewa kurang suka minuman dingin dan bersoda. Dan ini pisang goreng, dibelikan Grace dan Rahma yang baru kembali dari jalan-jalan..."
"Jalan-jalan?"
"Ya, di luar komplek penginapan, tapi tak jauh."
Keduanya lalu duduk berdekatan. Lorna mengambi sepotong pisang goreng menggunakan tisu.
"Sudah lama aku tak makan pisang goreng," kata Dewa.
"Ini bagus, tak berminyak. Yang jual gorengan orang Cina."
"Ya, mereka pintar mengolah makanan, minyaknya selalu baru dan bagus."
Dewa menggigit pisang dari pegangan Lorna. Bergantian menikmatinya.
"Ini teh jahe, bukan cappuccino," kata Lorna seraya membuka tutup cangkir minuman yang masih panas. Aroma jahe menyelinap ke lubang hidung mereka.
Dewa mengangkat jempol.
"Buat berdua ya?" tanya Dewa.
Lorna menolak.
"Lorna air mineral saja."
Di atas meja di hadapan mereka, ada beberapa botol air mineral ukuran 500 ml. Dewa mengambil satu lalu membuka segelnya.
"Thank you! Kapan kita carikan frame untuk sketsamu?"
"Nanti, saat di Singaraja."
"Boleh Lorna kirim dua ke Australia?"
Dewa mengangguk.
"Tapi jangan..."
"I know!" Lorna cepat memotong ucapan Dewa. "Lorna tak akan kirim yang nude. Hanya yang posisi close up tidur yang berbeda."
Dewa mengangguk.
"Mau kirim berapa yang kau mau. Terserah."
Lorna menggeleng.
"Hanya itu saja keinginan, Lorna. Jadikanlah itu koleksi Dewa. Mungkin satu lagi buat di kamar tidur Lorna di Jakarta."
Dewa membersihkah mulut serta tangan dengan tisu basah. Lalu menghabiskan separuh cangkir teh jahe yang masih panas.
"Lorna belum melihat gallery Dewa. Juga belum melihat semua koleksi karya Dewa."
"Sebagian besar sudah jadi milik orang."
"Lorna tahu," Lorna tersenyum, "Kan bisa melihat album fotonya."
"Oke!" jawab Dewa membalas tatapan Lorna Saling memandang dan tersenyum.
"Tapi, framenya Lorna yang beli dan mempaketkannya."
Dewa mengangguk setuju. Lorna merasa lega. Dewa masih menatapnya, merasakan ada yang ingin disampaikan, tapi Lorna tak juga mengungkapkan.
"Ada yang mau disampaikan?"
Lorna sesaat ragu. Hanya ingin bertanya. Apakah  semua barang sudah dibenahi? Karena besok pagi akan melanjutkan perjalanan kembali. Sebenarnya, Lorna mau bilang. Saat berangkat besok, dan saat di Singaraja, Lorna ingin menggantikan untuk menanggung semua pengeluarann, mulai dari bensin, makan selama perjalanan, hingga penginapan.
Tetapi niatnya diurungkan. Tidak ingin membangkitkan perasaan tak nyaman Dewa. Bila menimbuilkan konflik bisa membatalkan kesepakatan malam ini mereka mau bercinta. Tak boleh ada persoalan yang mengganggu. Lorna berusaha menahan demi menjaga suasana hati.
"Hanya pakaian kotor yang belum dibenahi," kata Dewa
"Nanti kita londre saat di Singaraja," Lorna menimpali.
Dewa bankit dari duduknya. Bergeser ke tepi teras. Melihat ke atas. Melihat langit cerah seperti kemarin. Bulan penuh yang terhalang bayangan ranting pohon. Lorna mendekatinya. Memeluk perlahan pinggangnya dari belakang. Wajahnya lantas direbahkan ke punggungnya.
"Jam berapa saat ini?" Dewa bertanya seraya memegang telapak tangan Lorna yang mengait di perutnya.
"Dua belas lewat..."
"Sudah larut. Kita belum ganti pakaian tidur."
Lorna tersenyum, Wajahnya masih menempel di punggung Dewa yang sesaat kemudian membalikkan badan. Mambuat keduanya berhadapan. Saling melingkarkan memeluk. Memahami kesepakatan sewaktu di taman.
Lorna membiarkan telapak tangan Dewa mengelus lembut tepian lehernya. Dilanjutkan ke pipi. Jemarinya menelusuri setiap lekuk wajah, dari dagu hingga bibir. Hingga telapak tangannya perlahan menekan tengkuknya, yang membuat bibir mereka saling mendekat lalu menghujam.
Bola mata Lorna tak lagi bisa memandang wajah Dewa, lantaran terasa kabur. Lebih baik memejamkan mata, merasakan bibirnya dipilin bibir Dewa. Merasakan kebasahan. Menikmati kelembutannya. Merasakan manisnya ciuman. Merasakan kehangatan. Merasakan lidah saling menari-nari. Saling mengkait dalam rongga mulut. Dan berlangsung lama yang menutup kesadaran hingga penutup tubuh terlolosi, teronggok di antara kaki. Kegairahan Dewa membuatnya mengangkat tubuh Lorna yang polos. Membaringkan di atas tempat tidur. Menuntun ke puncak pendakian. Mendorong agar paling dahulu mencapai puncak. Lalu bergantian menuju puncak tujuannya. Menciptakan pekik dan lenguh panjang setelah Lorna bekerja keras membantunya ke puncak pencapaian.
Sesaat kemudian suasana kembali hening. Tak ada lagi deru nafas berpacu. Tak ada lagi pekik gelora. Yang tertinggal hanya saling berpelukan erat, wujud telah mencapai puncak dalam kebersamaan.