Dalam restoran di penginapan dipenuhi gelak tawa. Berada dalam satu meja, bersama rombongannya, Dewa menjamu temannya.
"Bisa ditunda sehari, Dewa?" tanya Putu.
Dewa tertawa.
"Ini sudah menunda sehari. Harusnya, siang tadi sudah melanjutkan perjalanan," jawab Dewa.
"Coba, ajak Nonik Lorna ke tempatku. Ada beragam pakaian adat di tempatku. Kalian bisa gunakan untuk berfoto."
Ucapan itu membuat Grace, Rahma maupun Lorna nampak bersemangat, ingin sekali melakukannya. Lorna memandang Dewa, ingin tahu tanggapannya, tapi kecewa sebab Dewa tidak berhasrat pada tawaran temannya itu.
"Ingin ke sana? Berdandan pakaian adat, tak cukup satu jam," kata Dewa.
"Oke... oke! Tidak apa! Masih ada waktu lain kali. Tapi satu jam kujamin gadis-gadis cantik ini, bisa melenggak-lenggok bak penari legong," Putu menambahkan.
"Ah, kamu hanya mau mereka datang ke tempatmu." sela Dewa.
Putu tertawa.
"Aku welcome kapan saja kalian kemari..." tambahnya.
Semua tersenyum.
"Komang memberi informasi, kalau Dewa kini jauh berbeda dibanding saat masih di Ubud bersamaku," Putu masih penasaran pada Dewa.
Dewa tertawa.
"Yang jelas, semakin ganteng."
"Ah, sudahlah. Gimana nggak ganteng lha aku ini lelaki, kalau cantik ya kayak Lorna, Grace, Rahma atau berkarakter kayak Titi," kata Dewa.
Titi yang duduk dekat Komang wajahnya tersipu-sipu. Sementara Lorna, Grace dan Rahma tersenyum-senyum saja.
"Temu kangen. Saat reuni seperti ini, mengungkit masa lalu, sesungguhnya mengasyikkan untuk diteruskan. Tapi..."
Kunjungan Putu, teman Dewa, tidaklah lama, karena dia ada kesibukan yang tak bisa dihindari. Tapi kedatangannya memberi kesan pada gadis-gadis itu ingin melakukan apa yang dikatakannya, yaitu berfoto pakaian adat.
"Nanti kita lakukan setelah berkeliling," kata Dewa menghibur setelah kepulangan temannya.
Mereka kemudian mengobrol dan beralih tempat ke taman.
"Kenapa, nggak terpikir olehku?" tanya Rahma.
"Komang sih diam saja," kata Grace menyalahkan Komang.
"Mana kutahu kemauan kalian?" Komang membela diri.
Lorna duduk di samping Dewa.
"Kalian mau ke sana untuk berfoto dengan pakaian adat?" tanya Dewa.
"Mau!" jawab mereka serempak.
"Pergilah, biar diantar Komang!"
"Lha...."
Wajah Lorna, Grace, Rahma dan Titi yang semula gembira seketika berubah terdiam.
"Kuambil gitar di mobil ya?" kata Komang.
Dewa mencegah.
"Malas?"
"Aku ingin menikmati suasana. Ajaklah dan tolong antarkan mereka ke tempat Putu."
"Nggak, ah. Nggak jadi!" kata Grace demikian halnya Rahma.
Lorna hanya diam memandang Dewa.
"Kenapa?" tanya Dewa.
Tapi Grace dan Rahma tak menjawab atau memberikan alasan.
"Tadi kalian nampak semangat sekali."
"Karena kamu tak ikut, Dewa!" akhirnya Lorna menyelanya.
"Aku lagi malas."
"Kamu sudah katakan, tak mau kemana-mana lagi."
"Titi. Tolong bawa kemari camilan dan minuman," kata Lorna.
"Baik, Non!"
Kemudian perbincangan beralih pada rencana keberangkatan melanjutkan perjalanan besok.
"Lebih baik kita berangkat pagian, supaya, sampai di Singaraja lebih cepat, atau setidaknya berhenti dan menginap di Kubutambahan. Bagaimana?" kata Dewa pada Komang.
Komang mengangguk.
"Yang penting, jalan saja, menikmati panorama, menikmati kuliner, belanja sovenir. Kalau tak bisa capai target pemberhentian, kita bisa menginap di mana saja," Lorna memberi pemikiran.
"Komang sudah memperhitungkan. Kurasa kita akan menginap di Singaraja."
"Kita jalan santai saja, Komang," kata Grace.
"Seperti perjalanan kemarin."
Lorna lalu meminta ijin sebentar mengurus baju yang dilondre, tapi Dewa tidak yakin akan maksudnya, dan memutuskan untuk mengantar.
"Please, Dewa tunggu disini! Tidak lama! Hanya sebentar!" Lorna memohon.
"Londrean kan bisa diurus Titi," Dewa menjelaskan.
Lorna duduk kembali, tak jadi pergi. Rahma dan Grace tersenyum memperhatikannya.
Komang tahu arah maksud pembicaraan Lorna, tapi diam pura-pura tak memahami. Lalu pergi menghindar, memberi isyarat ke Dewa mau menjauh untuk merokok.
Dewa mengangguk.
Tak lama kemudian Titi muncul, Dewa tak mengungkit perihal baju londrean, sebab Dewa tahu alasan Lorna pergi, tidak ingin menyudutkan bila bicarakan hal itu pada Titi. Titi sudah menerima kiriman pakaian yang sudah dilondre tadi pagi.
"Bagaimana kalau aku pergi sebentar?" kata Dewa.
Lorna lekas memandangnya.
"Kemana?" Lorna bertanya ingin tahu.
"Menghilang seperti tadi pagi?" tanya Grace.
"Ke kamar kecil. Mau ikut?"
Lorna tersipu.
"Ah, dasar..." kata Rahma.
Dewa lantas pergi. Tujuannnya tak seperti yang baru diucapkan. Itu hanyalah alasan. Melainkan dia pergi ke kantor penginapan, bermaksud melunasi semua biaya. Lorna sendiri juga meragukan kepergian Dewa.
"Kamu mau kemana juga?" tanya Grace.
"Ikutan ke kamar kecil?" tanya Rahma.
"Sssstt!" Lorna memberi isyarat agar diam dengan jari telunjuk di bibir," Lorna yakin. Dewa tak ke kamar kecil."
"Terus kemana kalau begitu?"
"Kalian tunggu di sini. Aku akan melihatnya dulu."
Perkiraan Lorna benar. Dia tak menemukan Dewa di kamar, kamar mandi juga kosong, dan itu membuatnya bergegas ke depan, ke kantor penginapan. Kekuatirannya terbukti. Di tempat itu. Dewa sedang melakukan pelunasan semua biaya selama menginap. Dia terkejut saat melihat Lorna sudah bediri di sisinya. Wajah Lorna nampak kecewa, keinginannya untuk membayar semua biaya mereka menginap sudah didahului Dewa.
"Sudahlah, sama saja!" kata Dewa.
"Kenapa sih Dewa seperti itu?"
"Sudahlah. Aku tadi mau bicara tentang ini denganmu, tapi tidak di depan Grace dan Rahma."
"Setidaknya kan Dewa bisa beri kode atau isyarat. Kita bisa mencari tempat lain untuk membicarakannya."
"Maafkanlah kalau aku berbohong kepadamu, tapi habis ini aku ke kamar kecil."
"Dewa ada uang?"
Dewa memandang Lorna seraya mengangkat alis.
"Cukup untuk membiayai perjalanan ini."
Perasaan Lorna seperti tersayat, pedih. Tatapannya kepada Dewa sendu sekali.
"Aku tahu, Lorna berniat melunasinya. Tadi bagian pembayaran tidak mau aku melakukan itu, dengan alasan sudah diselesaikan. Tapi ketika aku minta bukti, mereka tak bisa menunjukkan."
"Lorna merasa keberatan Dewa melakukan ini."
"Sama saja, Na. Kau atau aku yang membayar. Kalau tak ada uang tentu aku akan bicarakan ini."
"Tak mungkin Dewa melakukan itu."
Dewa memegang kedua bah Lorna, menatapnya tajam.
"Beri kesempatan aku untuk melakukan hal yang baik buatmu."
Perasaan Lorna kembali tersayat, hatinya terenyuh, ucapan itu membuatnya tak berdaya untuk memaksakan kehendaknya yang juga sama, tidak ingin memberatkan Dewa dengan membebaninya biayai perjalanan ini.
"Honor iklan itu, ingin kuhabiskan untuk ini semua."
Lorna menggeleng perlahan.
"Itu tak adil, Dewa!"
"Beri aku kesempatan. Jangan membuat perasaan kita jadi tak nyaman."
"Bukankah Dewa sudah setuju, saat Lorna bilang saat di Jakarta mau berangkat ke Bali akan menanggungnya?"
Terlepas dari rasa kecewa yang dialami. Lorna harus menerima kenyataan. Dewa tetap bersikeras, bahwa Dewa ingin terlibat membiayai perjalanan ini. Tanpa mengecilkan kemampuan keuangan Dewa. Lorna masih belum bisa mengukur tentang pendapatan dan tanggungjawab yang harus dipikulnya.
Di lobi hotel. Lorna duduk sendiri, menunggu Dewa sedang ke kamar kecil. Di saat menunggu. Dua orang lelaki tamu hotel menghampiri tempatnya duduk. Lalu duduk pada sofa di dekatnya Lorna.
"Halo, goodnight!" salah seorang dari mereka menyapanya.
"Selamat malam." jawab Lorna datar.
"O, bisa berbahasa Indonesia?"
Lorna tersenyum datar.
"Menginap di sini?"
Namun tak menanggapi serius. Hanya tersenyum datar, mencoba mengalihkan perhatian mereka agar tak menganggunya dengan menelpon Rahma. Kedua lelaki itu ingin melakukan pendekatan.
"Sendirian?"
Lorna menggeleng. Mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka, yang berusaha mengajak berbicara, padahal dirinya sedang menelpon.
"Hai, di mana?" tanya Rahma.
"Di depan bersama, Dewa."
"Kalian tak apa-apa?"
"Kita baik-baik. Kenapa?"
"Ah, nggak. Sedang ngapain?"
"Tunggu Dewa ke kamar kecil."
"O, jadi benar, dia pergi ke kamar kecil. Kupikir bohong."
Lorna tersenyum, geli.
"Aku ntar pakai laptopmu, ya?"
"Suruh, ambil Titi. Kunci kamar kutinggal padanya."
"Buat monitoring reuni kita."
"Pakailah..."
Kedua lelaki itu tersenyum senyum memperhatikannya. Terkecoh ternyata gadis bermata biru itu lancar berbahasa Indonesia.
Lorna jengah dengan tatapan mereka. Beruntung Dewa lekas datang. Lorna segera menyudahi teleponnya. Kedua lelaki itu bengong saat Dewa mengulurkan tangan dan menarik Lorna bangkit dari duduknya. Lorna menggandengnya. Keduanya berlalu meninggalkan tempat itu.
"Mau ke tempat Putu, melihat pertunjukan di sana?"
"Ah, sudah malam. Kita belum berbenah. Bukankah besok pagi kita melanjutkan perjalanan?" kata Lorna seraya menggelayutkan tangan ke lengan Dewa.
Dewa mengajak memutari taman yang ada di penginapan.
"Tak merasa dingin?."
Lorna menggeleng.
"Peluklah Lorna!"
Dewa lantas melingkarkan lengan tangan memeluknya.
"De?"
"Ya?"
"Kenapa Dewa beralasan menghabiskan uang honor iklan untuk perjalanan ini? Bukankah honor itu belum dibayarkan? Setahuku, Imelda baru meminta padaku nomer rekening Dewa?"
"Hanya alasan supaya kamu tak mempermasalahkan setiap kali melakukan pembayaran."
"Bisa diberitahu nomer rekeningmu?"
"Sudahlah, Na. Jangan bicarakan itu."
"Kalau Dewa tak mau memberitahu, nanti Lorna akan berikan cash."
"Na!"
Dewa berhenti. Memandang wajah Lorna yang diterangi cahaya bulan yang ada di langit. Lalu berkata.
"Itu tugas Imelda, Na. Aku tidak ingin perasaanmu kepadaku terbebani oleh masalah itu. Aku tak mempermasalahkan honor. Apa yang kulakukan semata-mata hanya untukmu. Lupakan pembicaraan tentang honor. Lupakan pembicaraan tentang pembayaran biaya perjalanan ini. Mari kita bicara topik yang lain."
Lorna memandang tajam ke mata Dewa.
"Imelda tak tahu caranya menghubungimu, sebab Lorna tak akan memberikan nomer teleponmu."
Dewa diam. Juga tak tahu harus bersikap apa tentang Imelda.
"Dewa marah?" tanya Lorna karena Dewa diam.
Dewa memejamkan mata sesaat seraya menarik nafas dalam-dalam.
"Maafkanlah sikap dan ucapanku, bila itu Lorna menafsirkan seperti itu. Tapi, percayalah. Tak ada alasanku marah. Aku tidak akan pernah marah kepadamu."
Dewa lalu mengalihkan tatapannya. Menengadah, matanya terpejam, mencoba menahan nafas sebentar.
Lalu berusaha menjelaskan.
"Kita masih harus menyesuaikan diri bila menyangkut persoalan seperti ini. Karena aku tak bisa bersikap membiarkanmu melakukannya sendiri. Aku ada uang, Na. Dan aku akan berusaha mencarinya bila kehabisan. Tapi aku tidak ingin kamu melakukannya atas dasar supaya tidak memberatkanku. Aku tak merasa terbebani. Aku tak merasa terberati. Aku merasa hal ini harus kulakukan. Aku..."
Lorna lantas memeluk pinggangnya.
"Ya, sudah. Kita lupakan pembicaraan ini," kata Lorna lunak. Mencoba menetralisir pembicaraan.
"Aku tidak marah, Na."
Lorna menatapnya.
"Lorna tahu, De. Lorna mengerti. Mungkin kesal, Lorna yang selalu membayar apa saja untuk keperluan kita."
Dewa menggeleng lemah.
"Kamu masih belum mengerti."
"Lorna mengerti, De! Lorna mengerti!"
"Masih belum..." kata Dewa seraya menggeleng perlahan.
"Maafkanlah, Lora, bila hal itu membuat gusar."
Dewa lalu memeluknya. Membenamkan hidungnya ke rambut Lorna yang tebal. Mencium kesegaran aroma rambutnya yang selalu harum.
"Ada yang belum kamu pahami mengenaiku," bisik Dewa perlahan.
"Jelaskanlah agar Lorna bisa memahamimu, Dewa."
"Nanti!"
"Kenapa mesti nanti?"
Dewa menggelengkan kepala, perlahan.
"Lebih baik kita nikmati perjalanan keliling Bali ini tanpa terganggu pembicaraan seperti ini."
"Lorna hanya ingin terlibat bila menyangkut soal pembayaran. Lorna ingin diajak membicarakan terlebih dulu, supaya tidak ada salah pengertian. Itu pun bila Dewa ingin menyenangkan Lorna."
Dewa mendekap pipi Lorna. Menatapnya lembut.
"Sebaiknya memang begitu."
Lorna tersenyum manis.
"Itu yang Lorna maksudkan."
"Aku ingin menyenangkanmu. Tak ada artinya bagiku bila yang kulakukan tak membuatmu bahagia. Beri Dewa pelukan..." pinta Dewa.
Maka Lorna lantas memeluk Dewa dengan erat.
"Aku mencintaimu, Na. Aku mencintaimu. Aku bahagia bila kamu merasa bahagia bersamaku."
"Lorna merasa bahagia bersamamu, De. Sungguh. Lorna bahagia."
Bulan di langit tersenyum, seperti senyum Lorna. Senyumnya manis sekali.