127. Bermain di Pematang Sawah

Di Bali banyak tempat pilihan untuk makan. Ada banyak pilihan untuk menu makan dan kuliner yang spesifik. Tetapi mereka berkeliling mencari tempat makan yang ideal. Akhirnya mereka terdampar di suatu tempat makan lesehan, yang berada di tengah areal persawahan. Lorna satu meja dengan Dewa. Sedangkan Grace bersama Rahma. Titi bersama Komang. Menu yang mereka pilih, sesuka selera masing-masing. Grace dan Rahma ikut pilihan Komang. Bebek goreng lengkap dengan sayur mayur dan lalapan.
Lorna ikut selera Dewa. Gurami. Mereka duduk bersimpuh, menghadapi meja pendek. Semua menikmati makanannya. Grace dan Rahma nampak lahap, sebab perutnya belum terisi sejak pagi gara-gara Lorna, padahal sehabis berenang keduanya merasa lapar sekali.
"Bagaimana memberitahukan mau tambah ikan?" tanya Lorna kepada Komang.
Komang lantas bangkit berdiri. Lalu memukul kentongan yang ada di sudut ruangan. Lorna tersenyum.
"Nasinya juga, ya?" tanyanya kepada Dewa.
Tidak antara lama, seorang gadis pelayan berpakaian adat muncul. Siap melayani.
Grace minta tambah nasi dan gurami seperti yang sudah di pesan Lorna. Semua nambah. Pesanan langsung dicatat. Dan tiba sebelum makanan yang mereka santap habis.
Lorna menyuapkan potongan lauk ke mulut Dewa.
"Siapa teman yang Dewa temui tadi?" Lorna mencoba bertanya.
"Putu. Teman waktu di Ubud. Kini tinggal di daerah sini. Tadi, tak sengaja aku berbincang dengan seorang pelayan penginapan. Obrol punya obrol, pelayan itu menceritakan perihal temanku itu."
"Bicara apa?"
"Saat aku menanyakan hiburan seni pertunjukkan. Penari di daerah sini yang paling terkenal adalah komunitas dia."
"Teman Dewa pelukis itu?"
"Bukan. Dia pengukir, juga penari. Aku tadi ke galerinya. Nanti malam, dia akan datang ke penginapan. Aku ingin memperkenalkanmu."
"Silahkan!" wajah Lorna ceria.
"Sambil makan malam di penginapan."
"Seharusnya Lorna tak kolokan tadi, ya."
"Sudahlah! Aku tahu. Kamu memang manja. Tapi aku melihatmu cemas."
Lorna tersenyum.
"Hanya padamu. Dan Lorna memang cemas."
Dewa tersenyum.
"Jangan tersenyum. Lorna tadi benar gelisah."
"Cemas dan gelisah, itu baru cerminan perasaan cinta."
"Ya! Kalau Lorna nggak cinta buat apa cemas dan gelisah memikirkanmu. Lorna pikir kepergian Dewa, lantaran cemburu melihat Lorna di kolam renang dipandangi orang terus menerus."
Dewa tertawa renyah.
"Nah, kan lebih nyaman dan aman berenang di kolam renang rumah sendiri."
"Jadi, nggak boleh berenang seperti itu."
"Ah, aku nggak melarang? Sudah resiko bila berenang di ruang publik."
Grace dan Rahma tertawa, senang melihat keakraban Lorna dan Dewa. Keduanya kini seperti tak terpisahkan.
Setelah usai bersantap. Mereka berkeliling meniti pematang sawah. Udara sudah tidak terik lagi, karena mentari sudah tua, meluncur menuju peraduannya. Titi berjalan meniti pematang mengikuti Komang yang sedang berusaha menangkap capung yang hinggap di daun padi. Komang ingin menangkapnya untuk Titi.
Dewa mengandeng tangan Lorna dengan hati-hati agar tak terjerembak ke persawahan yang basah. Grace dan Rahma sibuk berfoto dengan kamera milik Lorna. Keduanya juga bergantian mengambil gambar Dewa dan Lorna yang acap kali saling merangkul dan berpelukan.
Wajah Lorna menengadah mengikuti dua ekor burung bangau yang terbang melintas. Sementara Dewa melingkarkan tangannya memeluk pinggangnya dari belakang.
"Sulit ya menemukan lokasi dan pemandangan seperti ini?" tanya Lorna.
"Kenapa?"
"Rasanya adem, indah, dan damai."
Terdengar gemericik air yang mengucur dari pancuran bambu tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Pergilah ke Griyo Tawang, di sana suasananya tak jauh berbeda."
Lorna tersentak.
"Benarkah, Dewa?"
"Di tengah sawah kubuat gubuk, buat rebahan sambil menikmati suasana alam."
"Lorna pingin kesana."
"Ke sanalah. Bisa tiduran."
"Ajak Lorna kesana, Dewa!"
Wajah Lorna semakin ceria. Menepis roman sedih yang belum lama menimpanya. Keduanya lalu berpelukan. Dewa ingin mencium, tapi dari kejauhan teman-teman mengawasi. Hanya telunjuknya yang dia tempelkan pada bibir Lorna sebagai pengganti
"Kita bercinta nanti malam ya?" Dewa lalu berbisik.
Lorna menjawab dengan kedipan mata. Tersenyum. Tapi dalam hati menjawab. Bercintalah dengan tubuhku sepuasmu.
"Tapi, kalau Lorna capai atau enggan, bilang ya?"
"Dewa, nakal!" jawab Lorna seraya memijit hidung Dewa.
"Nakal bagaimana?"
"Apa yang Dewa lakukan di saat Lorna tidur lelap kecapaian sehabis bercinta?"
Dewa cepat menangkap yang dimaksud Lorna.
"Saat Lorna menelponmu tadi, kutemukan hapemu berada dalam tas. Maafkan Lorna kalau tadi melihat buku kumpulan sketsa Dewa."
"Kenapa harus minta maaf."
"Membuka tas Dewa tanpa permisi."
"Itu karena kamu mencari tahu hapeku yang tertinggal."
"Rupanya banyak sketsa sudah Dewa buat. Boleh Lorna meminta satu?"
"Kenapa mesti satu? Nanti kita belikan frame yang bercorak ukiran Bali untuk sketsa-sketsa itu."
Wajah Lorna ceria.
"Karena sketsa itu kubuat selama perjalanan di Bali, sebaiknya bernuansa Bali."
"Lorna ingin kirimkan ke Mommy dan Daddy."
"Sebaiknya dikirim dari Bali."
"Thank you, Dewa. Aku mencintaimu."
Dewa tak tahan untuk tidak mengecup bibir Lorna. Dan Lorna memberikan bibirnya untuk dikecupnya sesaat.
"Tahan, ya? Buat nanti malam..." kata Lorna lembut.
Setelah itu, Dewa memberi keleluasaan Lorna mengambil foto-foto landscape. Apalagi saat senja mulai tiba. Cahaya mentari terbagi-bagi dalam menerangi alam. Ada yang redup terhalang awan dan pepohonan, ada yang mendapatkan sinar dengan cahaya keemasan. Pemandangan yang tercipta bagaikan lukisan.
Dewa duduk di pematang yang berumput tebal. Lorna tak mengabaikan untuk tidak mengambil pose itu. Kepiawaiannya dalam hal fotografi membuatnya serius melakukannya. Grace dan Rahma pun kemudian ikut nimbrung minta difoto. Karena tahu hasilnya pastilah bagus.