126. Berenang Pagi
Mentari menyingsing kian tinggi. Cahayanya memantul ke permukaan air kolam yang beriak akibat Grace dan Rahma sedang bercanda saling mencipratkan air. Sementara Lorna sedang berenang usai menjangkau sisi lain dari panjang kolam renang. Saat sampai kembali pada sisi kolam dimana dia berawal, Dewa menunggunya berjongkok, masih memakai kimono batik.
Saat wajahnya menyembul dari dalam air, dilihatnya wajah Dewa tengah berjongkok di tepi kolam.
"Hai! Selamat pagi!"
"Pagi, Dewa!"
Titi datang menghampiri. Membawakan segelas minuman air jeruk buat Lorna. Dewa membantu, menarik Lorna keluar dari dalam kolam.
Lorna kemudian duduk di tepi kolam. Berusaha melepaskan topi renangnya.
"Berenanglah, Dewa!" ajak Lorna seraya menerima gelas minuman yang diulurkan Titi. Meneguknya hati-hati.
Berenang membuatnya haus. Berenang ibarat orang berlari, kaki dan tangan bekerja keras mengayuh, dan mengatur nafas agar tidak menghirup air.
"Kapan terakhir, Dewa berenang?" tanya Lorna halus.
"Bersamamu saat syuting kemarin."
Lorna tertawa,
"Ah, itu sih tak masuk hitungan. Itu mandi di laut. Bukan berenang. Kapan?"
"Kalau begitu sudah lama sekali."
"Berapa lama?"
"Sejak terakhir pelajaran olahraga. Ujian renang di kolam pemandian Senaputra."
Lorna tertawa lagi. Tawanya manis sekali.
Titi memberi Lorna handuk untuk menutupi tubuhnya. Tubuh Lorna yang mulus dan indah, mengundang mata mencuri pandang.
"Baguslah kamu selalu berenang," kata Dewa yang tahu, bahwa di rumah Lorna selalu tersedia kolam renang.
"Hai, Na. Ajak Dewa berenang!" teriak Grace.
Dewa tertawa.
"Oke, aku kembali lagi. Aku hanya memastikan keberadaanmu. Kubaca pesanmu di atas nakas," kata Dewa kemudian berdiri dan beranjak pergi.
"Lorna tak tega mambangunkanmu. Lorna lupa beritahu janjian berenang dengan Garce dan Rahma. I am sorry, Dewa!" kata Lorna.
"Lanjutkanlah berenang," kata Dewa sambil berlalu meninggalkannya.
"Habis ini kita breakfast Dewa!"
Dewa melambaikan tangan.
"Sorry, Dewa. I m sorry!"
Lorna menatap kepergian Dewa. Sesungguhnya, berharap Dewa menunggu saat dirinya ingin menyelesaikan satu putaran lagi. Sikap Dewa membuat perasaannya tak nyaman. Lalu memutuskan menyudahi.
"Lho, kok sudah, Na?" tanya Rahma yang berenang mendekati, "Kemana, Dewa."
"Nggak, tahu! Hanya bilang kembali saja."
"Kamu nggak bilang kalau kita berenang?" tanya Grace.
"Lupa! Hanya kutinggalkan catatan di meja nakas."
"Tapi, dia bilang suruh lanjutkan..."
"Ya, tapi, nggak ah. Sudahlah, tapi kalau kalian masih mau melanjutkan, kutunggu saja di sana. Sebentar lagi kita breakfast."
"Kamu breakfast dulu aja, Na!" kata Grace yang masih berada dalam air.
"Ah nggak Grace! Kalau Lorna sudah. Kita juga ikutan sudah," kata Rahma.
Lorna tetap menginginkan Grace dan Rahma melanjutkan berenangnya.
Sementara Lorna bergegas ke kamarnya menyusul Dewa, tapi tak menjumpainya. Barangkali Dewa meninggalkan catatan di atas nakas. Dalam buku catatan, hanya ada bekas catatannya sendiri buat Dewa.
Lorna berusaha menelponnya. Dan mendengar bunyi telepon dalam tas Dewa.
"Ya, ampun, dia tinggalkan hapenya..." keluhnya.
Lorna membuka tas Dewa tanpa mematikan sambungan. Dan menemukan hape Dewa dalam tas. Setelah memastikan, barulah sambungan dimatikan. Tapi ada yang menyita perhatiannya. Sebuah buku tebal berukuran A3. Rasa ingin tahu membuatnya lalu membukanya hati-hati.
Bola mata Lorna berbinar. Buku tebal berukuran A3 itu, ternyata kumpulan sketsa. Lorna terpukau oleh sketsa dan gambar yang dibuat dengan pensil hitam. Yang membuatnya terpukau, adalah obyek sketsa itu. Dari lembar pertama hingga lembar terakhir, semua sketsa gambar obyeknya adalah dirinya. Obyek yang diambil saat sedang tidur dengan tubuh polos, telungkup dengan punggung dan bongkahan pantat yang terbuka, selimut terserak dan sedikit menutupi pahanya. Ada yang bertelanjang dada, dengan mata masih terlelap dalam mimpi. Dan pose-pose dirinya yang lain. Sketsa-sketa itu sedemikian hidup dan menarik. Goresannya memiliki citarasa seni yang tinggi, natural.
"Oh, Dewa, kamu diam-diam melukisku..." gumam Lorna seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lalu merenung sesaat.
Menurutnya, lukisan Dewa tentang dirinya itu sangat indah. Keindahannya yang mampu meredakan kegelisahan hatinya, lantaran Dewa yang dia cari belum diketahui keberadaannya. Tersadar akan itu, maka bergegas mengembalikan buku sketsa itu seperti semula.
Lalu beranjak ke kamar mandi untuk membilas tubuhnya dengan air bersih setelah berenang. Lekas mencari tahu keberadaan Dewa.
Pikirannya terusik oleh kesalahan sendiri pergi berenang tanpa memberitahukan Dewa terlebih dahulu. Barangkali hal itu yang membuat sikap Dewa seakan tak peduli dirinya berenang.
Bersamaan selesai berpakaian. Pintu kamar ada yang mengetuk, sudah pasti bukan Dewa, dia akan langsung masuk tanpa mengetuk.
Lorna lalu membukanya.
Ternyata Titi.
"Mengantarkan, pakaian yang sudah dilondre semalam, Non," kata Titi seraya menyerahkan bungkusan plastik yang berisi pakaiannya dan pakaian Dewa yang sudah dilondre.
"Punya Grace dan Rahma?"
"Masih berada di kamar Titi. Nanti kalau Kak Grace dan Kak Rahma sudah selesai berenang akan Titi serahkan."
"Masuklah! Ada lagi pakaian kotor yang perlu dilondre. Sudah kusiapkan dalam tas yang ada di dalam kamar mandi. Sekalian punya Grace dan Rahma. Tapi, tunggu mereka selesai berenang, menunggu pakaian kotor mereka yang dipakai berenang."
"Baik, Non!" jawab Titi lalu mengambil tas di dalam kamar mandi.
"Londrenya bisa cepat kan, Ti?"
"Bisa, Non. Sebelum kita melanjutkan perjalanan siang ini, londrean sudah selesai."
"Baguslah! Kamu breakfast dulu..."
"Tunggu, Nonik, Kak Rahma dan Kak Grace."
"Nggak perlu. Kamu breakfast dulu."
"Mas, Dewa, kemana, Non?" Titi mencoba bertanya.
Lorna hanya mengangkat bahu dan kening.
"Sudahlah, kamu breakfast dulu. Bawa pakaian kotorku dan punya Mas Dewa."
"Baik, Non!"
Selesai mengeringkan rambut. Dicobanya menghubungi Komang. Dia berharap lelaki itu tahu keberadaan Dewa.
"Hai! Ada Dewa di situ?"
"Ya, tadi. Tapi sudah pergi keluar dijemput seseorang..."
"Siapa?"
"Nggak tahu."
"Ada pesan, atau ada pembicaraan dengan Komang?"
"Nggak ada! Pergi begitu saja. Seperti terburu-buru. Kupikir Lorna tahu."
Lorna gelisah. Tak tahu harus berbuat apa, karena Dewa pergi meninggalkan ponselnya, sehingga tak bisa dihubungi.
Lorna duduk termenung di kursi di depan kamarnya. Beginikah perasaan yang dirasakan Dewa, ketika dirinya pergi begitu saja meninggalkannya untuk berenang? Tapi aku kan meninggalkan pesan.
Lorna menelpon Komang sekali lagi.
"Kemana kira-kira perginya? Adakah meninggalkan pesan di resepsionis?"
"Akan kucari tahu."
"Terima kasih, Komang."
Grace dan Rahma kembai dari berenang. Keduanya terkejut melihat Lorna termenung sendiri di depan kamarnya.
"Kemana Dewa?" tanya Rahma.
"Pergi, ada yang menjemput."
"Siapa?" tanya Grace.
"Saat Lorna kembali, Dewa sudah tidak ada di kamar."
"Sudah ditelpon?" tanya Rahma.
"Hape-nya ditinggal."
"Oh!" Grace terkejut.
"Coba hubungi Komang!"
"Sudah. Dia tidak tahu."
Rahma mengantar tas yang berisi pakaian kotor ke kamarnya Titi. Tapi tak menjumpai gadis itu.
"Kemana, Titi?"
"Breakfast!" jawab Lorna pendek.
Perasaan Lorna kian cemas saat Komang memberitahukan, tak ada pesan Dewa, "Kucoba terus mencarinya," kata Komang.
"Terima kasih, Komang. Tolong bantu mencarinya ya?"
Sejam, dua jam, tiga jam, hingga mentari mencapai titik kulminasi, Dewa belum juga muncul. Membuat Lorna tidak hanya bersedih dan menangis di atas tempat tidurnya. Melainkan, seribu kecemasan bergejolak melanda perasaannya. Antara lain, ketakutan bila sampai ada sesuatu yang menimpa Dewa. Perselisihan dengan Ronal dan Timi di hotel kemarin membuatnya membayangkan yang tidak-tidak.
Grace dan Rahma turut tidak makan sejak pagi, karena Lorna tak mau diajak sarapan. Grace minta Titi membuatkan Lorna minuman berenergi. Tapi Lorna hanya mau air mineral. Rahma cemas bila Lorna sampai mengalami hal serupa, seperti peristiwa di gerbang sekolah menjelang pembukaan reuni.
Mata Grace dan Rahma turut berlinang, menunggui Lorna yang terisak-isak tertelungkup di atas tempat tidur. Keduanya berusaha menghibur. Namun sejam kemudian. Dewa tiba-tiba muncul di ambang pintu.
Grace dan Rahma terkejut melihat Dewa yang juga terkejut melihat keduanya tengah menunggui Lorna di atas tempat tidur.
"Kenapa, Lorna?" tanya Dewa seraya menjatuhkan tas yang dibawanya, lalu bergegas mendekati mereka.
"Kamu kemana saja, Dewa?" tanya Grace dengan wajah berubah lega.
"Kamu dicari-cari!" kata Rahma.
Lorna menyeka mata dengan permukaan kain bantal yang basah oleh airmatanya. Begitu mengetahui Dewa muncul.
"Gadismu, cemas memikirkanmu. Jangan biasakan pergi tanpa pesan." kata Rahma lalu pergi keluar kamar meninggalkan keduanya.
Lorna berusaha mengeringkan matanya. Lalu duduk menunduk di tepi tempat tidur, diam, memandang lantai. Dadanya sesekali masih berguncang. Masih belum ingin menatap Dewa.
Dewa lantas duduk di sampingnya. Jarinya menyibakkan rambut yang menutupi wajah dan daun telinganya.
"Maafkanlah. Aku pergi sebentar..."
Lorna memperlihatkan enam jari di atas pangkuannya, tanpa berucap. Dewa melihatnya.
"Sorry. Ya, enam. Enam jam. Kupikir kamu berenang sampai siang."
Lorna masih diam menunduk. Dewa juga diam menunduk. Keduanya menunduk. Menatap lantai. Sekali-kali berpaling memperhatikan wajah Lorna yang berusaha meredakan tangisnya.
"Sudah makan?"
Lorna menggeleng lemah.
"Sejak pagi?"
Lorna mengangguk.
"Grace dan Rahma, juga belum makan?"
Lorna kembali mengangguk.
Dewa menarik nafas panjang.
"Maafkanlah, Dewa!" kata Dewa lembut. Kemudian merenguh dan menarik tubuhnya ke dalam dadanya. Lorna menurut. Dewa menyeka airmata Lorna yang masih membasahi pelupuk matanya.
"Sekali lagi. Maafkanlah Dewa," bisik Dewa.
Lorna menggelengkan kepala. Kemudian menjawab dengan suara serak basah.
"Seharusnya Lorna percaya kepadamu, dan tidak menanggapi kepergianmu secara berlebihan..."
Dewa memandang teduh.
"Dewa ada keperluan, karena mendadak bertemu seseorang yang kenal temanku yang kini tinggal di daerah ini..."
Penjelasan singkat Dewa menghibur hati Lorna.
"Nanti Dewa akan ceritakan. Sekarang kita harus makan. Tapi Dewa menunggu tangismu reda dulu."
Lorna berusaha tersenyum. Tapi wajah itu tetap saja nampak sedih.
"Lorna mencemaskanmu..." kata Lorna dengan suara berdesah.
"Kenapa?"
"Takut ada yang menculikmu..."
"Ah!"
Dewa lantas memeluknya.
"Kemarin kamu berselisih dengan Ronal. Membuat Lorna punya prasangka mereka menguntit kita."
"Buang jauh-jauh pikiran itu."
"Bisa saja orang suruhan dia..."
"Ah!"
Dewa membekap wajah Lorna. Kemudian memandangi dengan seksama.
"Jauhkan pikiran itu. Aku lebih mencemaskan bila kalian tidak makan," kata Dewa seraya memadukan dahinya dengan dahi Lorna.
"Bagaimana supaya wajahmu tak lagi nampak berurai airmata?"
"Lorna akan mencuci muka..." jawab Lorna dengan suara perlahan.
Dewa tersenyum, lalu melepaskan Lorna yang bangkit menuju wastafel di kamar mandi, membiarkannya merapikan wajahnya kembali.
"Kita makan di luar saja!" kata Dewa dengan suara sedikit keras. Lalu pergi ke luar kamar.
Mendengar Komang ada di depan kamarnya.
"Kemana saja, kamu, De?" tanya Komang yang sedang duduk berkumpul dengan Grace dan Rahma. Tapi Dewa tak menanggapi.
"Kita makan di luar. Tolong bawa kita ke tempat makan yang enak."
"Kapan kita melanjutkan perjalanan?" tanya Komang.
"Besok!"
"Jadi, urung cabut sekarang?"
Dewa mengacungkan jempol.