125. Facebook Reuni.
"Jadi, perbincangan di facebook, Dewa tak mau menanggapi?" Grace bertanya pada Lorna dengan perasaan heran.
"Aku yang baca saja, jadi merinding. Ingin marah. Kesal sekali. Inginnya sih, nggak kita undang yang kasih komen seperti itu." kata Rahma.
"Jangan!" sergah Lorna.
"Habisnya..., tapi sudah aku tandai, siapa saja yang ngomongin Dewa seperti itu," Rahma menambahkan dengan roman gemas.
"Primadona masih suci bersimpuh di kaki Duda yang tak perjaka," kata Grace.
"What?!" Lorna terkejut.
"Bukan aku lho. Ada yang komen begitu," kata Grace.
"Itu sih, sudah keterlaluan, Na!" kata Rahma memandang Lorna yang terdiam.
"Sudah kita coba telusuri, tapi nggak jelas. Namanya, nama manipulasi, 'virgin girl', tapi kayaknya dari angkatan di atas kita. Dia sengaja mengecoh identitasnya," katanya melanjutkan.
"Sepertinya, mereka yang iri padamu, pesaingmu waktu sekolah dulu, kali," kata Grace.
"Ah, biarlah!" tiba-tiba Lorna menjawab apatis, "Semua bisa ditelusuri. Kita bisa tahu. Kalian kan yang meminta, bagi yang ikutan reuni, harus mendaftar via facebook, jadikan facebook jadi media reuni itu? Dari situ bisa ditelusuri siapa pemilik account itu," kata Lorna jadi penasaran.
"Aku sudah kasih komen ke ''virgin girl', kutulis, sebagai perempuan jangan sok suci dengan pertanyaan. Siapa sih 'virgin girl'? Omongannya saja tak mencerminkan gadis virgin?"
"Sudahlah, Rah. Biarlah mereka sedang eporia di jejaring sosial. Toh, setiap orang punya penilaian sendiri," kata Lorna berusaha meredam ketidaknyamanan yang dirasakan akibat komen di facebook seperti yang disampaikan Grace.
Ketiganya berbincang di beranda sebelum berpisah ke kamar masing-masing.
"Eh, tapi ada yang belain kamu?" kata Rahma.
"Si Penerawang!" jawab Grace dan Rahma bersama-sama.
"Kamu tahu orangnya?"
"Sama misteriusnya. Tapi kayaknya laki-laki. Wajahnya sih seekor simpanse pakai blankon." jawab Grace.
Lorna tertawa.
"Pasti Jowo!" ujar Lorna kemudian.
"Iyo, tapi sopo iku?" tanya Rahma.
"Mbuh, ora weruh aku!" Grace menimpali.
Ketiganya tertawa terbahak. Tawa mereka terhenti saat Dewa muncul. Yang tadi berpamitan pergi untuk suatu keperluan.
"Hai, De!" sapa Lorna.
"Hai!"
"Halo, handsome!" sapa Grace, "Dari mana saja?"
Lorna tersenyum. Sikap Grace selalu usil saja.
"Ke depan, berbincang dengan Komang."
"Komang tidur di mana?"
"Di tempat saudaranya. Penginapan ini milik keluarganya."
"Pantas, nggak mau dipesankan kamar. Kupikir dia mau tidur di mobil," kata Rahma.
"Ah, ya nggak lah, Rah!" sela Lorna.
"Oke, aku masuk ke dalam dulu, ya?"
"Mau istirahat?" tanya Grace.
Dewa tak menjawab. Hanya tersenyum.
Grace dan Rahma melirik, melihat Lorna. Lorna tahu.
"What?"
"No what what!" balas Grace seraya ketawa.
Rahma ngakak.
Lorna berlagak mau melempar keduanya dengan komputer tablet yang sejak tadi dipeluknya.
"Masuk..masuk..." kata Grace meledek menyuruh Lorna supaya masuk ke kamarnya.
"Ntar, kenapa?"
"Eh, kalian tahu nggak. Kayaknya Komang ada sesuatu dengan Titi," kata Grace dengan suara berbisik.
Bola mata Lorna memelototi Grace.
"Kamu ini mulai usil. Biar kenapa?" kata Lorna dengan suara tertahan.
"Ya, deh!" jawab Grace.
"Masih belum ngantuk? Kalian masih mau pakai ini?" tanya Lorna seraya mengulurkan komputer tabletnya kepada Rahma.
"Oke, kita pakai dulu, ya?"
"Pakailah. Selamat tidur. Selamat malam. Tidur yang nyenyak. Jangan lupa besok berenang." kata Lorna lalu beranjak berdiri.
Grace dan Rahma segera memberi pelukan dan cium pipi.
"I love you, Na."
"I love you, Grace, Rahma!"
Tengah malam. Saat berbaring di samping Dewa, di atas tempat tidur. Lorna mencoba mengutarakan apa yang dibicarakannya dengan Grace dan Rahma. Lorna ingin tahu reaksi Dewa. Namun tanggapan Dewa tetap datar, seperti ketika menanggapinya di taman.
Lampu besar kamar sudah diganti Dewa dengan lampu tidur. Cahaya kamar menjadi redup. Meneduhkan suasana. Ruangan terasa hening. Ada pesawat televisi yang tak dimanfaatkan.
Berbeda di ruangan Grace dan Rahma. Mereka menyalakan, ingin melihat acara televisi Bali, seraya membuka komputer. Demikian pula di kamar Titi, hanya pesawat itu yang menemaninya, dia sendiri menempati kamar itu.
"Lorna sungguh tak mengerti, Dewa bersikap biasa tak menanggapi rumor di facebook,"
Dewa menanggapi santai.
"Lalu apa yang harus kulakukan?"
"Entahlah..."
"Apakah aku harus marah?"
"Setidaknya, Dewa bisa balas komen, untuk mengklarifikasi."
"Klarifikasi?"
"Ya!" kata Lorna tak langsung menjawab.
Dewa diam sesaat.
"Untuk mengklarifikasi, setidaknya harus membuat account di facebook. Setelah itu masuk ke dalam perangkap obrolan yang ngambang, tak berarah, omong asal omong, nulis asal nulis, penggunaan bahasa yang tak berkaidah. Kalau tak balas komen, diapresiasi sombong, lalu dicentang tidak suka."
Lorna tersenyum. Ternyata. Dewa tahu banyak soal facebook. Lorna jadi curiga. Jangan-jangan Dewa piawai di dunia maya.
"Tentu di account-mu yang meminta konfirmasi untuk menjadi temanmu kebanyakkan adalah lelaki."
Ucapan Dewa membuat Lorna langsung bangun dari rebahannya. Tahu dari mana dia? Tanya Lorna dalam hati. Ditatapnya Dewa tajam. Apakah Dewa memiliki account di jejaring itu? Selama ini sudah dicobanya menelusuri untuk mencari tahu account Dewa, tapi tak pernah berhasil menemukan. Ada banyak nama Dewa, tapi tak satupun yang ditelitinya sesuai.
Untuk sementara kesimpulannya, Dewa tidak membuat account di facebook. Atau dia pakai identitas lain. Dan itu bisa saja dilakukan, tapi tak ada alasannya untuk mencurigai.
Meski dengan bibirnya menahan senyum. Lorna menunjukkan roman berpura-pura, yang membuat Dewa bersikap menetralisir kegusaran Lorna.
"Dewa cemburu?"
"Ah, nggak!"
"Nggak, cemburu?" tanya Lorna mendesak.
"Nggak!"
"Kenapa Dewa nggak cemburu?"
"Kenapa mesti cemburu?"
"Artinya Dewa tak..."
"Tak mencintaimu, begitu?" sela Dewa memotong cepat ucapannya.
Lorna mengangguk.
"Kemarilah. Beri Dewa pelukan. Kubisiki!" kata Dewa seraya merengkuh tubuh Lorna.
Lorna lalu merebahkan diri di atas dadanya. Dewa mulai berbisik.
"Cemburu, makna sesungguhnya cerminan perasaan tidak percaya. Bila aku cemburu kepadamu, sama artinya, aku sedang tidak mempercayaimu. Bila aku tidak merasa cemburu, artinya, semuanya kuserahkan padamu, karena rasa percaya yang sepenuhnya kuberikan kepadamu."
Lorna lantas tersenyum.
"Paham?" tanya Dewa lembut.
Lorna mengangguk.
"Dewasa sekali..."
"Itu yang kumaksud. Jangan kekanakan."
"Tapi, orang bilang, cemburu sebagai bagian ungkapan cinta. Bumbu cinta."
"Bukan. Kecemburuan cinta itu, sikap kewaspadaan seseorang terhadap orang yang dia cintai untuk tidak diapa-apakan oleh orang lain. Artinya kewaspadaan. Kewaspadaan itu bisa dimaknai rasa curiga, dan curiga itu bermakna rasa tidak percaya. Oleh karenanya. Cinta sejati adalah cinta yang bisa saling memberi pengertian, saling percaya, karena pada dasarnya cinta itu pengorbanan, pengorbanan diri untuk membuat bahagia bagi orang yang dicintai."
"Hai, benar sekali!"
"Aku mencintaimu, De!" ucap Lorna lembut.
Dewa mengecup lembut bibir bawah Lorna. Lalu menjawab. Suaranya lembut.
"Aku juga mencintaimu, Na.!"
"Selamat malam, Dewaku!"
"Selamat tidur, Lornaku!"
"Good night!"
"Good night! Sleep enough. I'll see you in the morning...."
"Your English fluently."
"Teach me..."
Lorna tertawa.
"Kenapa tertawa?"
"Ah, nggak!"
"If one fix! Teach me English."
"Menurutku, tak perlu. Karena Lorna tahu. Dewa bangga berbahasa Indonesia. Biarlah orang asing yang memahami bahasa Dewa, agar tak merasa asing. Dewa tak tinggal di Australia atau di Inggris, atau di mana saja..."
Lorna lalu memberi kecupan pada bibir Dewa.
"Night!"
Lorna kemudian memejamkan mata, meninggalkan senyum yang membayang di sudut bibirnya. Malam ini, Dewa tak membawanya pada hasrat keinginan bercinta. Dewa begitu memahaminya, karena pada saat ini, ingin tidur nyenyak, setelah melewati perjalanan melelahkan, walau selama perjalanan, hanya duduk dan tiduran.
Bulan penuh, bersabar menjaga dari di langit sampai pagi.