124. Di Padangbai.


Selama perjalanan mereka kerap berhenti untuk menikmati pemandangan, seraya melepas kepegalan yang hinggap di kaki akibat duduk terus menerus. Dan berfoto. Di Padang Bai, berhenti lama karena ada pemandangan laut. Setelah itu akan melanjutkan perjalanan ke Karang Asem yang menjauhi pesisir
Hari mulai beranjak petang ketika Dewa memeluk Lorna dari belakang, di tepi pantai.
Sementara Grace dan Rahma punya acara sendiri. Masih masih di restorant membuka facebook dengan komputer tablet Lorna. Tak ingin mengganggu privasi Dewa dan Lorna.
Di lain tempat, Komang semakin dekat dengan Titi. Mengajak Titi berkeliling. Membelikannya cindera mata. Membelikannya kaos joger. Mengambil foto menggunakan hape. Menyelipkan sehelai bunga kamboja ke sela daun telinganya.
"Kamu cantik..." Komang memuji. Sesungguhnya tak lebih dari rayuan.
Titi tersipu. Baru kali ini ada lelaki yang memujinya.
"Wajahmu seperti gadis Bali."
Titi kian tersipu. Tentu dia berharap gadis Bali manis-manis.
Rembulan mulai muncul dan merangkak di langit. Komang pun mulai berani menggandeng tangan Titi. Dan Titi membiarkan hal itu terjadi. Entahlah, kenapa dia biarkan lelaki yang baru dijumpainya beberapa hari, berani menyentuh tangannya. Hanya berusaha menghindar bila nampak oleh majikan dan kawan-kawannya. Untunglah Komang memahami. Sehingga dia tak perlu kuatir elakannya dimaknai tak mau.
Teleponnya berbunyi yang berasal dari majikannya.
"Ya, Non? Baik, Non. Titi kembali ke restorant," Kemudian Titi berkata pada Komang, " Nonik, menyuruh kita kembali."
"Ayo, kita turuti!" jawab Komang.
Maka mereka kembali berkumpul di restoran. Hendak melanjutkan perjalanan ke Karang Asem.
"Kita jadi menginap di Karang Asem, Mang?" tanya Lorna.
"Ya, Non!"
Semua tertawa. Terutama Lorna, yang memandang Dewa yang mencoba menahan senyum seraya melempar pandangan ke lain arah.
"Gara-gara, Titi. Aku jadi latah!" Komang tertawa membela diri.
Titi tersipu.
Dalam perjalanan ke Karang Asem. Diam-diam Titi mencubit paha Komang. Gemas lantaran Komang keceplosan menjawab pertanyaan majikkannya. Inginnya saat itu langsung mencubit lantaran dibuat malu. Kali ini keinginannya kesampaian. Komang hanya meringis, dan mengedipkan mata. Sesakitnya cubitan itu akan ditahannya.
"Ayo, cubit lagi!" Komang menggoda.
Tapi Titi hanya menjulurkan lidah.
Lorna memejamkan mata dalam pelukan Dewa. Suasana perjalanan sudah gelap. Grace dan Rahma ikut memejamkan mata. Malam gelap tak ada yang bisa dinikmati, selain bayangan cahaya yang melintas dengan cepat. Penginapan sudah diatur Komang sebelum berangkat.
Sampai di Karang Asem, mereka langsung masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan. Grace sekamar dengan Rahma. Lorna menempatkan Titi dalam kamar sendiri. Kemudian dirinya bersama Dewa.
Lorna meminta mereka mandi dahulu sebelum berkumpul untuk makan malam. Setelah itu terserah masing-masing.
Lorna pamit sebentar kepada Dewa, untuk menemui Komang. Ada yang ingin dibicarakan dengannya. Saat ditemui Lorna awalnya Komang gusar. Gusar bila Lorna akan menegurnya soal kedekatannya dengan Titi. Dewa juga cemas saat Lorna berniat menemui Komang, cemas bila Lorna menegur Komang perihal pembantunya. Tetapi Lorna hanya memberitahukan perihal biaya perjalanan dirinya yang akan menanggung semua.
"Jangan melibatkan Dewa. Tolong bilang semua sudah dibereskan. Telepon aku ya, bila ada urusan pembayaran."
"Oke! Oke! No, problem. Saya mengerti."
"Thank you, Komang! Istirahatlah, tentu capai setelah berjam-jam membawa kendaraan."
Komang mengangguk sekaligus bernafas lega.
Di sebuah taman. Di atas sebuah kursi malas. Dewa bersandar menghadap ke langit. Memandang rembulan yang bersembunyi di balik awan tipis.
Lorna datang kembali dan menghampiri sembari membawa secangkir capuccino panas.
Dewa menyambut dengan menerima cangkir itu, tapi tak langsung meminumnya, hanya meletakkannya di atas meja yang ada di sebelah tempat duduk mereka. Tangan Lorna yang lain membawa sekotak popcorn.
"Terima kasih."
Dewa tak mengusik alasannya menemui Komang. Karena tidak ingin menimbulkan kesan, seperti mengawasi dan turut campur terhadap apa yang dilakukannya.
"Kemana Grace dan Rahma?" itu saja yang ditanyakan.
"Membuka facebook."
"Ooo..."
"Kita berdua jadi bahan pembicaraan."
"Tak apa. Kita hadapi saja."
"Tapi mereka mengkait-kaitkan dengan Ronal," kata Lorna seraya menatap Dewa, yang menjawab datar saja.
"Biarkan saja!"
"Mereka juga mengkait-kaitkan kamu dengan beberapa teman wanita kita."
"Oh, ya?"
"Mau dibiarkan?"
"Ya, biarkan saja!" Dewa masih menjawab datar.
"Ada juga yang menanyakan perihal hubunganmu dengan Nirmala."
Dewa terdiam, terpaku, kemudian memandang Lorna.
Lorna balas memandang. Mengangkat alis untuk meyakinkan, apakah hal itu akan dibiarkan juga?
Dewa menarik nafas dalam. Menyandarkan belakang kepalanya yang tertumpu kedua telapak tangannya yang saling mengait. Pandangannya kali ini ke atas langit, memperhatikan rembulan yang malu-malu mengintip di balik awan.
Lorna bersandar ke dada Dewa. Ikut tengadah menatap rembulan di langit. Mencoba melihat apa yang diperhatikan Dewa di langit. Rembulan yang utuh setelah awan tipis tersibak oleh angin yang mengalir di ketinggian sana.
Untuk sesaat keduanya diam seribu bahasa. Hanya suara letupan popcorn yang terkunyah dalam rongga mulut keduanya. Hal itu berlangsung hingga Lorna bangkit untuk mengambil cangkir cappucino yang tak lagi panas.
"Jadi hangat...." kata Lorna seraya menyodorkan kepada Dewa.
Dewa bangun duduk. Keduanya minum bergantian. Cangkir diletakkan kembali ke atas meja bersama kotak popcorn yang tak dilanjutkan untuk dimakan.
Lorna merebahkan diri kembali seperti semula. Dewa melingkarkan tangannya memeluk pinggang Lorna. Bulan putih memancarkan sinarnya. Membuat wajah Lorna nampak bagaikan pualam. Sayup-sayup di kejauhan, irama tari kecak mengalir ke telinga keduanya, serta aroma dupa menebar di udara, menciptakan suasana damai.
Lorna tengadah menatap mata Dewa. Keduanya bertatapan lama, sebelum kemudian Dewa memilin dan mengulum bibir Lorna. Setelah Dewa menarik bibirnya, Lorna lantas menyembunyikan wajah di bawah dagunya.
"Maafkan, Lorna, menyinggung Nirmala."
Dewa menggelengkan
"Lupakanlah. Sudah menelpon, Mami?" tiba-tiba Dewa bertanya dengan suara perlahan.
"Sudah..." jawab Lorna lembut. Senang Dewa mengingatkan.
"Mereka menyampaian salam buat Dewa."
"Terima kasih."
"Lorna juga sampaikan salam Dewa buat Mommy dan Daddy."
Dewa mengecup kening Lorna.
"Mereka berdoa buat kita."
Tangan Dewa mengusap-usap lengan tangan atas Lorna.
"Mereka menanyakan, apakah kita sudah menentukan hari pernikahan kita? Lorna jawab, belum. Tapi, Lorna jelaskan kalau kita sudah memulai menyusun acaranya."
"Menurutmu bagaimana?"
"Barangkali, kita akan melakukan dua kali resepsi. Di Indonesia dan di Australia. Untuk di Australia, Mommy yang akan mengagendakan. Tapi aku akan mengajak Grace dan Rahma untuk ikut ke sana."
"Tentunya, Papi dan Mami harus berada di Indonesia sebelum resepsi kita."
Lorna mengangguk, kemudian bertanya perlahan.
"Boleh Lorna melihat Griyo Tawang?"
"Kenapa tidak? Tempat itu toh juga jadi milikmu."
Lorna tersenyum.
"Tapi Lorna tak ingin mencampuri apa yang sudah Dewa tata."
Dewa tersenyum. Dalam hatinya berkata. Bertahun kubangun tempat itu untuk melarikan perasaan bersalahku saat kau pergi meninggalkanku.
"Lorna juga ingin ada kegiatan usaha bersama Rahma dan Grace."
"Ya?"
"Kemarin Lorna sudah bicarakan dengan mereka, tujuannya untuk lebih membangun hubungan kami agar kita bisa saling bersama."
"Usaha apa itu?"
"Masih kita dalami. Apa saran Dewa?"
Dewa diam, tidak langsung menjawab.
"Atau mungkin Dewa tidak setuju?"
"Ah, nggak!" Dewa cepat menyela.
"Atau Dewa punya pikiran lain?"
"Belum tahu. Belum bisa berpikir sejauh itu. Tapi, rencana itu baik saja, hanya perlu dipikirkan masak-masak dalam memilih kegiatan usahanya."
"Oleh karenanya, Lorna meminta Dewa membantu memikirkan."
"Oke. Nanti dipikirkan, setelah urusan kita rampung."
Lorna tersenyum senang. Lalu meminta Dewa memeluk dan mengulum bibirnya seperti yang baru saja terjadi, kemudian dia mengatupkan mata, inginnya tidur di taman itu, sembari mendengarkan suara katak di kolam teratai tak jauh dari tempat mereka duduk.
Tapi Dewa kemudian mengajaknya berjalan berkeliling. Berjalan dengan saling mengaitkan tangan. Betapa indahnya saat-saat seperti ini bila itu sudah terjadi di saat-saat lalu saat mereka masih bersekolah. Apalagi saat Dewa memeluknya dan dirinya memeluk pinggang Dewa.
Malam itu mereka berdua juga terdampar pada bangku menikmati minuman jahe hangat seraya menonton pertunjukkan tari. Dewa memandang lembut wajah Lorna. Di telinga kanannya terselip sekuntum bunga kamboja yang diberikan penerima tamu saat memasuki tempat pertunjukkan.
Lorna menempelkan pipinya ke punggung tangan Dewa saat Dewa membelai wajah Lorna. Wajahnya, demikian cantiknya. Bola matanya yang biru, berkilatan memantulkan cahaya sinar yang berasal dari api lentera bambu. Keduanya saling memandang dalam kebisuan, namun seribu perasaan bahagia saling bertukar di hati masing-masing.