Kendaraan untuk melakukan perjalanan beserta perbekalan sudah siap. Dewa berada di taman. Menyudahi teleponnya. Menghindari jangan sampai telpon dari Lorna tidak bisa masuk.
Lorna sedianya hendak menemuinya di taman, tapi tertahan oleh Grace dan Rahma yang mengajaknya berbincang.
"Bawa pakaian seperlunya. Yang kotor bisa dilondre saat kita berhenti menginap," Lorna menjelaskan.
"Pintu kamar sudah dikunci?" tanya Komang.
"Bisa minta tolong Komang untuk memeriksanya lagi?" tanya Lorna.
"Sudah tidak ada yang tertinggal? Sekalian akan saya kunci semua pintu. Tadi sudah saya laporkan ke sekurity," jawab Komang.
"Tunggu sebentar, ya. Lorna akan telepon Dewa dulu," kata Lorna yang langsung mencoba menghubungi Dewa.
"Hai! Masih di situ?"
"Ya!"
"Sudah tak ada lagi yang tertinggal?"
"Tak ada. Semalam sudah kita persiapkan, kan? Hanya itu saja yang kita bawa? Peralatan kameramu sudah kurapikan. Kujadikan satu dengan koper kita, hanya kamera yang akan kita gunakan sepanjang perjalanan. Tunggu sebentar saya akan ke sana."
Grace dan Rahma saling menyenggolkan tangan. Sejak kapan Dewa bisa ditelpon hapenya. Itulah pertanyaan yang ada dalam pikiran mereka. Lorna menangkap apa yang dipikiran keduanya.
"Itu karena saran kalian," kata Lorna kemudian.
"Saran apaan?" tanya Rahma.
"Suruh beliin Dewa hape. Jadi kubelikan dia!" jawab Lorna.
Grace dan Rahma tertawa.
"Eh, tapi itu rahasia kita, lho. Hape dia tidak untuk umum. Sekalipun kalian. Untuk network aku dan dia."
"Yo i! Kita ngerti kok!" kata Grace.
"Aku, nggak mau tahu. Kuanggap aku nggak tahu. Nggak ikut campur!" kata Rahma
Tak lama kemudian Dewa muncul. Untuk mengecek kembali barang yang dibawa.
"Oke, cukup! Kalau begitu penginapan bisa dikunci."
"Komang yang akan mengunci!" kata Lorna seraya memandang Komang yang sudah siap beranjak pergi memeriksa dan mengunci setiap pintu yang ada.
Tak lama kemudian kendaraan mereka meluncur keluar penginapan. Posisi duduk sudah diatur. Titi duduk di depan mendampingi Komang yang mengemudi. Grace dan Rahma duduk di tengah. Sementara Dewa dan Lorna berada di belakang.
"Kita melingkar dari timur, lalu ke utara dulu, bagaimana?" tanya Komang.
"Singgah di mana?" tanya Lorna.
"Kita ke Gianyar, ke Istana Puri dalem. Lalu ke Klungkung, Padang Bai dan Candi Dasa, Mungkin kita menginap di Karang Asem."
Lorna tersenyum memandang Dewa.
"Atur saja, Komang."
"Oke!"
"Jangan paksakan kalau mengantuk. Sebenarnya kita semua bisa bergantian menyupir, tapi hanya kamu yang mengenal jalannya. Jadi kalau ingin merokok, bisa berhenti dulu sambil mencari warung kopi," kata Lorna lagi.
"Hanya aku yang nggak bisa nyupir," Titi mencoba ikut bicara.
Semua tertawa.
"Tugasmu, ajak Komang bicara supaya nggak ngantuk. Nanti kuleskan kalau kamu mau."
"Baik, Non!"
Komang tersenyum seraya mengedipkan sebelah mata kepada Titi. Sesungguhnya dalam beberapa hari belakangan ini, antara keduanya seperti sudah terjalin keakraban.
Rahma dan Grace berbincang menikmati pemandangan. Dewa dan Lorna sibuk dengan kameranya. Komang melakukan pendekatan kepada Titi. Baginya pembantu adalah profesi. Di Bali lebih lagi. Wanita bekerja serabutan. Ada yag melakukan pekerjaan kasar. Ada yang bertani dan lain sebagainya. Dan itu tak merendahkan martabat, melainkan semakin menunjukkan ketangguhannya.
Semakin sering berada dekat Titi. Baginya gadis itu terasa kian menarik. Komang tahu kalau Titi masih gadis, masih muda. Sedang Komang juga sudah menjelaskan kepada Titi waktu gadis itu bertanya, bahwa dirinya juga bujangan.
"Abang yang punya penginapan itu?"
"Termasuk. Penginapan itu usaha milik keluarga."
"Banyak penginapannya?"
"Beberapa."
"Di mana saja, Bang?"
"Nanti kalau kita kemalaman di perjalanan. Kita bisa menginap di Klungkung. Di sana ada penginapan milik keluarga."
"Yang lainnya di mana lagi?"
"Tersebar. Berada di titik penjuru angin Bali. Ada di bagian utara, barat, dan tengah, di Kintamani. Sementara yang kita tinggali berada di bagian selatan."
"Abang mau ngopi?"
"Kopi apa?"
"Kopi kalengan. Kita sudah sediakan. Tapi dingin, Bang."
"Oke nanti saja. Kamu nikmati dulu perjalanan ini. Posisimu bagus duduk di depan. Bisa melihat bebas."
Lorna yang bersandar di dada Dewa, bertanya perlahan.
"Komang masih single?"
Dewa menatapnya.
"Ya, masih. Kenapa?"
"Kulihat asyik bicara dengan Titi."
Dewa tersenyum. Lalu menyentil ujung hidung Lorna.
"Kan Lorna menyuruh untuk mengajak Komang bicara."
"Maksud, Lorna..."
"Aku tahu maksudmu..." sela Dewa.
"Ya, sudah. Lorna hanya senang saja melihatnya."
"Bagus!"
Grace lalu mengambil gambar Dewa dan Lorna dengan kamera pocketnya.
"Hai!" Lorna menyapanya riang.
"Hidden camera."
"Wow!" kata Lorna.
"Tenang..."
"Ntar kamu unggah ke facebook-mu."
"Keberatan?"
Lorna memandang Dewa. Dewa tersenyum. Artinya Dewa tak keberatan. Membuat Lorna tak mampu menolak.
"Foto di pantai sudah kuunggah ke facebook reuni."
"Ha! Yang benar, Grace?"
Rahma tertawa.
Lorna mengeluarkan komputer tablet dari tas besarnya. Untuk melihat facebook yang dimaksud. Dilepaskannya kaca mata hitamnya. Dewa juga melepaskan kacamatanya. Kedua kacamata itu lalu dicantolkan ke tepian kantong yang ada di belakang kursi di depannya.
Sesaat kemudian Lorna memekik.
"Ya, ampun! Graaaaaace!"
"Mana? Coba kulihat!" kata Rahma.
Lalu Grace dan Rahma melihat begitu banyak komentar dari teman-teman.
"Dewa. Foto kita berdua di pantai yang dikomentari!" kata Lorna kepada Dewa.
Dewa tersenyum datar.
"Kan cuma satu foto saja." kata Grace.
"Biar satu tapi komentarnya seabrek.!"
"Na! Coba kamu balas komen!"
"Nggak, ah!"
Dewa lalu menyela.
"Bagaimana kalau komputernya kalian tutup, dan kita nikmati perjalanan ini?"
Grace dan Rahma saling berpandangan.
"Oke. Sori, Dewa!" jawab Rahma seraya mengembalikan komputer tablet itu ke Lorna.
"Nanti saja saat kita menginap, kalian bisa buka kembali."
"Setuju, Dewa!" jawab Rahma dan Grace bersamaan.
Lorna geleng-geleng kepala.
"Kawan-kawan kangen pada kalian."
"Grace!" Lorna menyela.
"Khususnya Dewa!"
"Grace?!" Lorna menyergah.
Rahma tertawa.
"Itu obat kangen mereka kepada kalian."
Lorna bangun dari duduknya. Lalu merangkul Grace dari belakang dan mencium pipinya.
Komang dan Titi tertawa melihat mereka bercanda. Perjalanan menjadi terasa menyenangkan.
Grace membalikkan badan. Mencoba mengajak bicara Lorna dan Dewa.
"Facebook reuni kita luar biasa. Dalam tempo singkat sudah berhasil merangkum lebih dari dua ribu."
Pandangan mata Lorna berbinar.
"Artinya?" tanya Lorna.
"Artinya persiapan harus benar-benar matang." Rahma ikut nimbrung.
"Artinya, mau tidak mau, Dewa harus muncul bersama Lorna."
"Kalian buat sensasi saja."
"Bukan sensasi, Na. Semua teman rindu suasana dulu. Kumpul bareng. Live on the spot. Saat sekarang pun kamu masih jadi primadona bagi mereka. Kenyataan ini tak bisa dielakkan. Mereka kini jadi fansmu. Coba nanti baca komentar di facebook reuni kita. Mereka berusaha menjalin teman ke facebookmu tapi belum kamu respon."
Dewa memandang Lorna.
"Oke, Dewa. Memang banyak yang meminta apalagi kurespon." kata Lorna seraya membalas pandangan Dewa meski sesaat. "Lorna, tak siap untuk merespon komentar mereka. Lorna tak mau terjebak pada lingkaran update setiap hari."
Dewa tersenyum.
"Kenapa tersenyum, Dewa?"
"Ah, nggak."
"Ah, nggak, apa, Dewa?"
"Kan sudah Lorna putuskan."
"Apanya?"
"Tak siap merespon!"
Grace dan Rahma tertawa.
"Ternyata, di facebook kamu perlu public releation buat jawab komentar yang ada."
"Nanti kututup..."
"Jangan!" tiba-tiba Dewa menyela.
Lorna menatapnya.
"Popularitasmu harus dimanage dengan baik. Sebuah resiko yang harus dijalani saat kamu memutuskan membuat account di facebook."
Grace dan Rahma mengangguk membenarkan. Dalam hati Lorna, ucapan Dewa teramat menyentuhnya.
"Kamu punya facebook, Dewa?" tanya Grace.
Lorna tersenyum kemudian menjelaskan.
"Ah, Grace! Kamu nggak paham Dewa. Dia sudah tahu resikonya."
Dewa tersenyum.
Di Gianyar. Mereka berhenti sejenak. Mengisi perut dan minum-minum di sebuah restorant. Pergi ke kamar kecil. Kemudian berkeliling mengunjungi Istana Puri Dalem dan berfoto. Lalu melanjutkan perjalanan.