131. Sebuah Selendang

Sekecil apapun perselisihan yang timbul, seperti saat melakukan pembayaran penginapan d Karangasem. Membuat Dewa selalu berpikir untuk mengoreksi dan mengambil langkah, agar hal tersebut tak perlu terulang. Lorna kini bukanlah orang lain lagi. Gadis itu adalah bagian hidupnya. Belahan jiwanya. Tak perlu lagi mempertahankan Ego. Bila ada yang berpendapat dan menafsirkan, dirinya merasa diuntungkan dengan kekayaan yang dimiliki Lorna. Itu merupakan bagian dari pengorbanan. Mengorbankan perasaan. Meski, hingga saat ini belum pernah sekalipun menyinggung apalagi bertanya perihal itu. Bagaimana dia bisa memiliki kekayaan seperti itu. Untuk tahu berupa apa saja, tak pernah terbersit dalam pikiran Dewa. Setahunya cinta mereka tumbuh bukan atas dasar latar belakang. Tumbuh sejak dulu dan berkembang hingga kini.
Sikap mengalah yang diperlihatkan Dewa. Memberi keleluasaan Lorna melakukan apa saja yang dikehendakinya. Seperti membayar bensin kendaraan. Makan pagi di Tirtagangga. Begitu pula, saat membayar panjar penginapan di Singaraja. Membuat Lorna merasa, Dewa memikirkan apa yang dipikirkannya. Dewa mengalah. Membiarkan Lorna mengambil peran. Dan bertanya-tanya. Apa yang membuatnya berubah? Tak memaksa seperti sebelumnya? Ataukah kehabisan uang tunai? Ah, nggak. Pembayaran penginapan bisa menggunakan kartu ATM.

Perjalanan melelahkan dari Karangasem hingga tiba di Singaraja di atas jam duabelas malam. Membuat semuanya bangun kesiangan. Keduali Titi, yang bangun pagi membantu menyiapkan breakfast yang sudah dikirim penginapan ke meja makan. Namun Lorna bangun mendahului Dewa yang masih tergolek di atas tempat tidur. Masih mengenakan kimono tidur, belum mandi, hanya membasuh wajah. Lorna melihat apa yang sedang dikerjakan Titi.
"Selamat pagi, Non."
"Selamat Pagi, Ti! Tolong, jangan lupa dibuatkan cappuccino panas untuk Mas Dewa."
"Ya, Non, sedang Titi siapkan. Diantarkan ke kamar, Non?"
Lorna mengangguk.
"Belum ada yang bangun?"
Yang dimaksud majikannya pasti, Kak Grace dan Kak Rahma.
"Pintu kamarnya masih tutup, Non. Tapi Bang Komang sudah keluar kamar. Bilangnya ke depan mencari rokok."
Lalu Lorna menyerahkan uang pada Titi.
"Nanti kalau kamu pergi bersama mereka jalan-jalan berkeliling. Uang ini kamu gunakan untuk membayar kebutuhan mereka, ya. Kalian nanti pasti beli apalah. Dan ajak makan bila sudah saatnya makan. Jangan sampai mereka mengeluarkan uang. Telepon aku bila kurang, ya?"
".... bisa gunakan ATM Titi, Non." sela Titi.
"Ya, nanti kuganti."
Lorna kembali ke kamar dan menelpon Rahma.
"Selamat pagi, Rah!"
"Pagi, Na!"
"Sudah siang. Masih belum mau tidur terus? Breakfast, Rah. Breakfast dulu, nanti bisa dilanjutkan tidurnya."
"Terima kasih."
"Bangunkan Grace!"
Apakah Dewa juga sudah bangun?"
"Aku tanya kamu, kok kamu balik tanya. Dia masih tidur."
"Tumben!"
"Ya, tumben memang. Biasanya dia yang dahuluan bangun. Sudahlah, ajak dulu Grace breakfast."
"Kenapa, nggak sama-sama? Oke... oke... Kita nggak mau mengusik privasimu. Kita juga ngerti, kalian ingin bebas."
"Aku mau pergi keluar sebentar dengan Dewa. Mau memaketkan sovenir ke Australia buat Mommy."
"Oi, silahkan, Na. Bebas saja. Jangan terganggu dengan kami. Telepon saja kalau ada yang perlu."
"Kalian masih pegang uang?"
Rahma tertawa.
"Sudahlah, Na. Yang kamu berikan kemarin masih utuh."
"Kenapa?"
"Karena kamu selalu bayarin setiap yang kubeli."
Lorna balik yang tertawa.
"Oke, Lorna mau bangunin Dewa ya?"
"Bangunkan, Dewamu. Nikmati kebersamaanmu dengannya."
"Thank you, Ra. I love you."
"Don't mantion it! We love you too, Na."
Sinar mentari, menerpa wajah Dewa yang tertidur menghadap jendela yang sudah dibuka Lorna. Aroma wangi bunga kamboja masuk ke dalam kamar ketika ditiup angin yang masuk. Lorna lantas menindih punggung Dewa. Menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Dewa. Lalu berbisik lembut.
"Bangun, Dewa. Jangan biarkan Lorna merasa sepi..."
Dewa yang sebenarnya sudah bangun dan hanya tetap memejamkan mata, lantas menjawab dengan perlahan.
"Selamat pagi, Lorna. Sudah mandi?"
"Selamat pagi, Dewa. Lorna ingin mandi bersamamu."
"Nanti bisa membangkitkan keinginanku bercinta denganmu."
Lorna tersenyum seraya mengecup sisi wajahnya.
"Kalau Dewa inginkan itu, lakukanlah, kenapa ditahan?"
"Kalau Lorna tidak berkeinginan, nanti kesanku telah memaksamu."
Lorna memeluknya, karen posisi tubuh Lorna menindih punggung Dewa. Dada Lorna yang padat dan lunak terhimpit dan terasa hangat di punggung Dewa yang telanjang. Lorna tahu, bila tidur bagian atas Dewa tak pernah tertutup pakaian.
"Lorna, tak peduli. Mau Dewa lakukan apa..."
"Jangan begitu..."
Dewa lantas membalikkan badan. Sehingga tubuh Lorna yang mendudukinya dari atas bisa merasakan kekekaran dada Dewa yang bidang. Kemudian saling memandang. Saling tersenyum. Kebersamaan yang telah dilaluinya selama ini, menghilangkan sekat batas. Keduanya saling berusaha untuk menyesuaikan diri untuk saling memahami.
"Bila menuruti keinginan itu. Tidak ada berhentinya. Memandang tubuh dan kecantikkanmu. Rasanya ingin bercinta denganmu setiap detik. Tapi kecantikkan di dalam dirimu, menciptakan filter yang membuatku bisa menempatkan kondisinya. Apakah akan kubuka filter itu, atau kubuat transparant, ataukah tetap kubiarkan opacity agar tak tertembus?"
Lorna menggesekkan pipinya ke telapak tangan Dewa yang mengelusnya. Ucapan Dewa menenteramkan. Kemudian merebahkan dadanya agar lekat dengan dada Dewa ketika memeluknya. Dewa membelai rambut kepalanya.
"Apakah kita jadi keluar, De?"
"Jadi. Kita mandi dulu. Lalu sarapan di luar. Oke?"
"Oke!"
Maka mereka ke luar dengan taksi. Biarlah Komang yang akan mengantarkan Grace, Rahma dan Titi berkeliling kota Singaraja dengan kendaraan yang mereka sewa. Kali ini Dewa dan Lorna pergi sendiri berdua.
Pertama kali yang dilakukan, mencari sarapan. Setelah itu membingkai sketsa, dan mempaketkan ke Australia.
"Tak perlu lagi beli bingkai?" tanya Lorna.
"Cukup?"
"Sketsa itu tak perlu dibingkai?"
"Nanti kalau sudah saatnya..."
Dewa membawa satu sketsa yang sudah terbingkai dan terbungkus rapi. Sketsa itu niatnya akan di gantung pada dinding di sisi tempat tidurnya.
"Kemana kita sekarang?" tanya Lorna setelah urusan sketsa selesai.
"Mencari kain jarit dan selendang, pakaian adat Bali, mau?"
Wajah Lorna nampak kian cerah.
"Mau sekali."
"Aku ingin melukismu dengan pakaian itu."
Lorna lantas mengecup bibir Dewa.
Maka keduanya lantas terdampar pada sebuah butik yang menjual pernak-pernik pakaian adat Bali. Lorna inginnya berbelanja banyak. Namun Dewa menjegah. Setidaknya, membelikan buat Grace dan Rahma.
Selebihnya Dewa sendiri memilihuntuk membeli sendiri sebuah selendang dan memberikannya kepada Lorna.
"Simpanlah. Ini buat menggendong anak kita."
"Ya?"
Apa yang disampaikan Dewa membuat perasaannya terenyuh. Betapa tidak terenyuh, sebab Dewa sudah mulai memikirkan kebutuhan anak mereka dari hal yang paling sederhana, yang tak terpikirkan olehnya, yang semakin memberikannya sebuah keyakinan akan hubungan mereka hingga ke pelaminan?
Lorna senang. Senang sekali. Ditatapnya Dewa. Tatapan itu memberi makna keinginannya untuk diberi pelukkan. Lantas Dewa lalu memeluknya.
"I love you, Dewa. Akan kusimpan buat anak kita." bisik Lorna lembut.
Dewa membalas dengan anggukan
Dua gadis penjaga butik yang melayani keduanya tersenyum-senyum melihatnya. Pikir mereka. Romantis amat kedua sejoli ini. Mereka pikir, keduanya adalah pengantin baru, yang sedang berbulan madu di pulau Dewata.
Setelah berkeliling untuk beberapa lama. Kemudian memutuskan kembali ke hotel. Dewa tak ingin Lorna mengalami kelelahan, walau selama berjalan-jalan berkeliling, sikapnya manja, bercanda, merajuk, menumpahkan segenap perasaan yang selama ini tak pernah mereka alami lagi semenjak nereka berpisah. Saat kembali di hotel. Keduanya tak menemukan teman-teman dan pembantunya. Tentunya masih jalan-jalan berkeliling kota.
Lorna menelpon mereka untuk memastikan.
"Ya, sudah, bersantailah. Nikmati ya. Oh, ya. Belanja yang lain kalau pingin, tapi selain kain adat Bali, karena Lorna sudah membelikan buat kalian."
"Terima kasih, Na."