121. Senandung Lorna.


Selesai acara makan. Dewa mengajak mereka melihat pemandangan sekitar pantai. Berfoto untuk kenangan. Khususnya Grace dan Rahma. Dewa tak ingin berlama-lama di tempat itu. Dia memikirkan ingin cepat kembali ke penginapan. Karena Komang perlu waktu untuk menyediakan kendaraan buat besok. Juga agar Lorna bisa beristirahat dalam mobil sepanjang perjalanan pulang. Lorna merebahkan kepala di pangkuannya. Tak ingin gadis itu mengalami kepenatan. Dia perlu istirahat yang cukup.
Hari masih terang saat mereka pulang kembali ke penginapan. Grace dan Rahma langsung memutuskan mandi. Demikian halnya Lorna, tubuh terasa kotor. Dewa memintanya mandi terlebih dulu, dan sambil menunggu merebahkan diri di sofa panjang.
Di luar suasana mulai gelap. Udara dingin mulai menyergap. Dewa tertidur di sofa. Rahma yang keluar dari kamar dan melihatnya, kembali masuk kamar mengambilkan selimut untuk menutupi tubuhnya yang nampak meringkuk kedinginan.
Tak ada yang berani mengganggu tidurnyaa. Lorna yag sudah selesai mandi tak ingin membangunkannya.
"Terima kasih, Rah," kata Lorna pada Rahma yang menyelimuti tubuh Dewa.
Grace, Rahma dan Lorna, duduk pada kursi di teras. Ketiganya berbincang sembari menikmati minuman hangat yang dibuat oleh Titi.
"Sori, Na. Kalau aku tadi menyebut nama Benny," kata Rahma.
"Seharusnya kamu tahu Dewa dan Benny masih belum bertemu sejak aku masuk rumah sakit."
"Jadi ceritanya masih panjang?" tanya Grace.
"Bukan begitu. Aku sudah tanyakan itu padanya, jawabannya tak ada masalah dirinya dengan Benny. Belum bertemu, karena kesempatan masih belum berpihak."
"Tapi kamu nampak memikirkan itu."
"Ah, aku hanya melihat sikap Dewa yang gusar. Aku merasa tak nyaman, karena saat itu tak tahu yang hampir menabrakku itu Dewa?"
Grace dan Rahma memandang Lorna seksama. Grace mencoba meletakkan telapak tanagn ke dada Lorna, lalu menempelkan daun telinganya di sana.
Lorna meringis gemas.
"Sehat!" jawab Grace.
"Iiiih, kamu ini!" kata Lorna gemas pada Grace.
"Ada Dewa. Nggak perlu kuatir, Grace!" kata Rahma.
"Sekali-kali lihat dia. Sudah bangun apa belum," kata Grace.
"Kalau bangun, tentu langsung berangkat mandi." jawab Lorna tenang.
Memang benar, di saat mereka berbincang. Dewa sudah berada dalam kamar mandi. Berendam dalam bak mandi. Hanya kepalanya yang muncul dipermukaan air. Matanya terpejam.
"Aku punya rencana ke depan untuk kita," kata Lorna serius. Lalu melanjutkan kembali ucapannya, "Itu pun kalau kalian setuju. Yang penting kita sepakat dulu."
"Rencana apa?" tanya Grcae seraya menyeruput minumannya.
"Tapi aku mau bertanya dulu pada kalian. Apakah kalian menginginkan intentitas pertemuan kita?"
"Ya, tentu saja, kamu ini bagaimana," sela Rahma.
"Bila perlu kita bisa bertemu setiap hari seperti dulu waktu sekolah."
Wajah Lorna nampak cerah.
"Lalu apa rencanamu?" tanya Rahma mendesak ingin tahu.
"Kita buat usaha. Entah itu restoran, seperti MacD. Yang menjadi saham kita bersama. Bagaimana?"
Grace dan Rahma saling bertatapan.
"Aku tak ada duit buat bersaham," cetus Grace apa adanya.
Demikian juga Rahma, yang menganggap sulit untuk bersaham dalam usaha itu, yang tentu saja tidak sedikit modalnya. Tapi Lorna segera menyela. Dia tahu pikiran Grace dan Rahma.
"Soal modal, kalian tak usah pikirkan. Kalian bertindak sebagai pengelola. Kita bagi-bagi tugas. Yang penting kita bertemu dan ada kesibukkan. Bagaimana?"
Lorna memandang Grace dan Rahma bergantian.
"Kamu serius?" tanya Rahma.
"Kalau tak serius, buat apa Lorna omongin?"
Grace dan Rahma tertawa senang.
"Lalu langkah kita bagaimana?" tanya Grace.
"Terlebih dahulu, kita buat proposal perencanaan. Pertama pilihan usahanya dan produk. Pangsa pasar. Tempat dan lokasi. Karyawan. Manajement. Ijin Usaha. Promosi dan seterusnya."
Grace memandang gemas pada Lorna.
"Ada apa Grace?" tanya Lorna lembut.
"Kamu ini. Ternyata tak hanya cantik, tapi pikiranmu jalan."
Lorna tersenyum. Jalinan persahabatan mereka sudah tak diragukan. Selama sekolah hubungan setiap hari, dalam kualitas waktu sekolah dan diluar sekolah, membuat ketiganya saling memahami karakter masing-masing. Meski ada pasang surut, tapi semuanya bisa diselesaikan. Kepergian Lorna begitu saja, yang berlangsung lama tanpa ada komunikasi, tak merenggangkan hubungan begitu berkumpul kembali.
"Apa yang membuatmu percaya pada kita-kita ini?" tanya Rahma.
Lorna terdiam sejenak. Memandang tajam pada Grace dan Rahma yang seperti bengong. Lalu Lorna berkata.
"Karena kalian sahabat terbaik. Dan kita sudah seperti saudara."
Wajah Grace dan Rahma kian ceria.
"Peluk aku, Na!" kata Rahma lalu memeluk Lorna. Lalu mencium pipi Lorna.
"I love you, Na!" Grace pun lalu memeluk dan mengecup pipinya.
"Nanti kita perdalam lagi rencana ini. Tapi coba kalian bantu memikirkannya."
"Tentu, Na! Terserah kamu. Kamulah bosnya!" jawab Rahma.
"Eh, Lihat dulu soulmate-mu..." kata Grace.
Lorna bangun dari duduknya. Beranjak ke dalam. Tak mendapati Dewa lagi di sofa. Hanya melihat selimut Rahma sudah terlipat rapi di atas meja.
Grace dan Rahma mengikuti di belakangnya.
"Sudah bangun?" tanya Rahma lalu memungut selimut di atas meja yang dipakai menyelimuti Dewa.
"Oke, nanti kita ketemu lagi. Aku ke dalam dulu ya? Dia mungkin sedang mandi," kata Lorna lalu masuk ke dalam kamarnya.
Saat membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Tak seperti biasa, mendengar suara musik, yang berasal dari petikan gitar. Suara itu berasal dari teras kamar.
Lorna mengendap perlahan mencari tahu. Dan tersenyum saat melihat Dewa duduk sembari melantunkan irama lagu dengan petikkan gitarnya.
Posisi Dewa yang memunggungi tak menyadari Lorna mendekati lalu melingkarkan tangan dan memeluknya dari belakang.
Berbisik lembut ke telinga Dewa.
"Sudah mandi ya?"
Dewa tengadah, berpaling menggesekkan pipinya ke pipi Lorna yang segera menyambutnya. Kulit pipi Lorna terasa lembut. Aromanya segar dan harum. Laiknya kulit pipi bayi.
"Duduklah di sampingku..." Dewa memintanya.
Lorna menurutinya.
"Siapa yang menyelimutiku tadi?"
"Rahma!"
Dewa manggut-manggut.
"Menyanyilah untukku."
Lorna tersenyum.
"Berdua ya?" tanya Lorna.
Dewa mengangguk.
"Lagu apa?"
"Bimbang!" jawab Lorna pendek.
"Ya, aku pernah mendengar kamu menyanyikannya. Lagu ini juga kerap dinyanyikan Reny."
"Tahu dari mana, Dewa?"
"Di studio di Griyo Tawang."
"Oh, ya?"
Untuk sejenak. Pikiran Lorna menerawang. Membayangkan Griyo Tawang yang selama ini hanya di dengarnya saja. Yang katanya di tempat itu ada gedung keseniannya, ada kegiatan pengrajin batik, ada sawah, ada budidaya ikan, barangkali ada banyak yang lainnya, sebab kali ini Dewa menyebutkan di sana ada studio musik.
Dewa menatapnya lunak. Hidungnya mencoba menggapai pipi Lorna, sementara jemari tangannya memetik irama lagu 'Bimbang' yang dimaksudkan Lorna.
Lorna memberikan pipinya, karena tahu Dewa ingin mencium pipinya. Maka dengan lembut Lorna berikan pipinya, dan Dewa membenamkan hidungnya ke pipinya yang segar. Menghirup aromanya. Lorna memejamkan mata, meresapi sentuhannya.
Bibir Lorna membersitkan senyum tiada berhenti. Telapak tangannya dengan lembut membelai wajah Dewa. Kemudian pandangan matanya mempaut pada mata Dewa yang juga memandangnya teduh.
"Aku mencintaimu..." kata Lorna tanpa keluar suara. Hanya bibirnya saja yang bergerak, tapi tak ada suara yang keluar, mencerminkan ungkapan perasaannya. Dewa mengatupkan mata sesaat sebagai jawaban mengerti akan cinta gadis itu kepadanya.
Lalu mengecup bibir itu dengan lembut.
"Ajaklah aku bercinta nanti malam," tutur Lorna perlahan saat Dewa melepaskan kecupannya.
"Ya. Waktu kita sudah bebas. Kita lakukan nanti sepuasnya," jawab Dewa.
"Aku sudah tak sabar" Lorna membisikinya dengan suara lembut.
Dewa tersenyum. Dan intro musik yang dimainkannya menempatkan tempo dimana kemudian Lorna langsung melantunkan lagu dengan suara lembut dan jernih. Vokalnya bagus. Suaranya merdu sekali.

Seribu pesona yang kau taburkan
Sejuta mesra yang telah kurasakan
Bagai embun pagi
Berlalu kala mentari tiba

Lorna bernyanyi seraya membelai wajah Dewa dengan penuh perasaan.

Ingin kusingkapkan tirai di hatimu
Penghalang pandang tatap mata hatiku
Adakah di sana, bintang harapan dambaan kalbu

Masihkah kini, masihkah kini,
nada-nada cinta berlaku di hatimu
di hatimu...di hatimu.
Adakah kini, adakah kini, kata-kata mesra berbisik
Di hatimu... di hatimu... di hatiku


Reff:
Ingin kusingkapkan tirai di hatimu
Penghalang pandang tatap mata hatiku
Adakah di sana, bintang harapan dambaan kalbu
Masihkah kini, masihkah kini,
nada-nada rindu berlaku di hatimu
di hatimu...di hatimk.

Adakah kini, adakah kini, kata-kata mesra berbisik
Di hatimu, di hatimu, dihatiku

Masihkah kini, masihkah kini,
nada-nada rindu berlaku di hatimu
di hatimu...di hatimu...di hatiku.
Adakah kini, adakah kini, kata-kata mesra berbisik
Di hatimu, dihatiku

Masihkah kini, masihkah kini,
nada-nada rindu berlaku di hatimu
di hatimu...di hatiku.

Lorna melantunkannya penuh perasaan. Benar-benar dihayatinya. Karena saat ini, dirinya bernyanyi memang untuk Dewa. Hingga air mata membayang di pelupuk matanya. Dan air mata itu bergulir jatuh saat lagu usai dinyanyikannya.
Dewa lantas meletakkan gitar, menyeka air mata Lorna dengan jemarinya. Lalu memeluknya dengan lembut. Membenamkan hidungnya ke dalam kelebatan rambut Lorna yang harum.
"Lorna bahagia bisa berkumpul kembali denganmu." suaranya berdesah.
"Aku merasakannya."
"Lorna tidak ingin berpisah denganmu, De."
"Aku tak akan meninggalkanmu."
"Lebih baik Lorna mati bila harus berpisah denganmu, Dewa."
Dewa kian merengkuhnya erat.
"Janganlah..."
Pelukkan yang diberikan adalah sebuah perlindungan. Lorna merasakan kenyamanan dan kedamaian di dalamnya. Dirinya terisak lantaran rasa haru yang tiba-tiba melandanya akibat perasaan bahagia, bahwa lelaki yang dicintainya, ternyata juga sedemikian mencintainya.
"Bolehkah Lorna berterus terang kepadamu, De?"
"Bicaralah, tak ada alasan bagiku melarangmu untuk mengungkapkan perasaanmu."
Lorna ragu sejenak. Namun tatapan Dewa yang teduh, membuatnya merasa tak ada beban untuk tidak berbicara apa yang sesungguhnya tengah dirasakannya.
"Namun Lorna minta maaf bila hal itu tidak sopan bagimu."
Dewa berusaha meyakinkan tak ada persoalan, apa pun yang ingin dikatakannya.
"Kamu sudah kuanggap isteriku," kata Dewa dengan suara perlahan namun menyakinkan.
Bola mata Lorna yang berkaca-kaca. Menerbitkan butiran air mata yang kemudian bergulir jatuh dengan deras. Lorna mengatupkan pelupuk matanya sesaat sebelum mengutarakan isi hatinya.
"Ungkapkanlah. Jangan jadikan beban yang tak berkesudahan."
Lorna menarik nafas dalam. Merasa damai oleh ucapan itu. Kemudian berkata dengan suara lembut.
"Lorna ingin Dewa mengahamili Lorna."
Usai berkata itu. Lorna diam terpaku. Ingin tahu reaksi Dewa. Sementara Dewa terpukau dengan ucapan itu. Kedua mata keduanya saling menghujam dalam tanpa bersuara.
Tapi sesaat kemudian tangis Lorna lantas pecah berderai. Menjatuhkan wajahnya ke dada Dewa. Dadanya berguncang hebat. Dewa mengelus punggungnya dengan lembut. Menciumi rambutnya. Bola mata Dewa turut berkaca. Lalu ditariknya wajah Lorna. Didekapnya pipi Lorna dengan telapak tangannya. Lalu di tatapnya mata Lorna dengan tajam kembali. Dan Lorna yang baru kali ini melihat bola mata Dewa berkaca-kaca, semakin membangkitkan keharuannya.
"I am sorry, Dewa. I am sorry..." katanya ditengah isaknya.
"Jangan meminta maaf, sayang. Aku mengerti perasaan dan keinginanmu."
"Lorna takut kehilangan Dewa. Lorna merasa cocok dengan Dewa. Lorna merasa nyaman di samping Dewa. Lorna tak ingin sedetikpun terpisah dengan Dewa. Hanya Dewa yang Lorna miliki penuh cinta."
"Aku tahu, Na. Aku tahu..."
"Mommy ingin cucu. Mommy sudah tak bisa melahirkan baby lagi setelah operasi melahirkan Lorna. Mommy sedih tak bisa lagi memberi Lorna saudara."
"Aku mengerti, Na. Aku mengerti. Bukankah aku sudah meminangmu. Kini kamu tunanganku. Dan aku pun tunangnmu, milikmu. Tak akan menjadi milik siapa-siapa lagi. Hanya milikmu."
"Dewa, oh!"
Dewa lalu memondong tubuh Lorna. Dan membawanya masuk ke dalam kamar. Lalu membaringkannya di atas tempat tidur. Kemudian memeluknya hangat. Memberinya kenyamanan.
Dewa tahu bagaimana memperlakukan Lorna yang tengah diluapi emosi yang takut berpisah. Perpisahan mereka sebelumnya menimbulkan trauma dalam dirinya. Keinginan bisa hamil dengannya, sebagai wujud dari harapannya untuk membuat ikatan yang lebih jauh dan dalam. Tetapi sudah tentu hal itu sulit untuk dilakukannya, karena dia memiliki pemikiran lain.
Seraya mengecupi pipi Lorna, Dewa berusaha menenteramkan kegelisahannya.
"Masih ingatkah, di kamar ini tempo hari, aku pernah menjelaskan bahwa aku tak akan mengambil kesucianmu di sini?"
Lorna mengangguk.
"Maafkan Lorna, De. I am sorry."
Dewa menggeleng-gelengkan kepala.
"Dewa mengerti. Dewa tak ingin memerawanimu di tempat seperti ini."
Bola mata Lorna memandang tajam mata Dewa. Ucapan Dewa ditafsirkannya sebagai jawaban bahwa Dewa akan memberi peluang itu. Tapi sudah tentu Dewa tak akan melakukannya di tempat itu. Dewa akan melakukannya di kamar Dewa sendiri. Di rumah Dewa. Di atas tempat tidur yang akan menjadi tempat tidur mereka berdua kelak. Di atas sprei mereka sendiri, tempat noda kesucian Lorna akan menitik.
"Membuatmu hamil sebelum ada janur melengkung, sudah tentu akan menimbulkan persoalan, Na."
"Maafkanlah Aku, Dewa. Permintaan Lorna memang berlebihan. Lorna sudah tak sabar peresmian itu dilakukan."
"Yakinkanlah, bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu, Na."
Dewa membelai wajah Lorna dengan lembut. Dan membiarkan Lorna mengutarakan apa yang menjadi beban pikirannya, karena dengan demikian akan membuat perasaannya lega.
Lorna kemudian ganti berbaring di atas dada Dewa dan memeluknya. Dewa yang berbaring menghiburnya dengan penjelasan agar bersabar. Hingga lambat laun meredakan isak kesedihannya.
Tangan Dewa mengusap dan membelai rambut Lorna, memberikan rasa nyaman bagi gadis itu.
"Dewa sudah memberikan keperjakaan kepada Lorna. Sungguh tak adil..." ucap Lorna lirih di atas dadanya.
"Tidak, Na. Apa yang kita lakukan cukup adil. Kusentuh dan kuciumi segenap bagian tubuhmu, dan tak seincipun yang terlewati, yang membuatmu terpekik dan merintih, sama halnya Dewa sudah menikmati dan mendapatkan keperawananmu, meski kita tak menyatukan bagian tubuh kita itu. Bila kita satukan, sesungguhnya tujuannya untuk menciptakan bayi dalam kandunganmu, sebagai anak kita."
"Oh, Dewa..."
Lorna lalu menindih tubuh Dewa. Membekap pipi Dewa dengan kelembutan telapak tangannya, lalu mengulum bibir bawah Dewa penuh perasaan. Setelah itu Dewa menyeka mata Lorna dengan jarinya.
"Kita sudah saling memiliki, Na."
Lorna mengangguk.
"Daddy menawarkan bulan madu kita ke Inggris. Di sana ada rumah warisan dari grandpa. Di sana ada banyak kerabat."
"Oh, ya?"
"Dewa setuju?"
Dewa tertawa lunak.
"Kenapa, De?"
"Berbulan madu, dan bercinta denganmu di tengah udara dingin membeku mana bisa dilakukan."
Lorna pun ikut tertawa. Karena bila mereka jadi meresmikan di Bulan Desember. Tentunya di sana tengah musim dingin. Alasan Dewa cukup beralasan.
Dewa senang bisa membuat Lorna tertawa.
"Jadi Dewa enggan?"
"Ah, nggak. Kalau itu membuatmu senang. Setuju saja. Dan lagi, kesempatanmu bisa bertemu kerabatmu yang bule-bule."
"Lorna ingin mengajak Dewa, berkeliling melihat museum-museum senirupa. Kita juga bisa ke Eropa, Jerman, Italia, Perancis. Melihat museum senirupa di sana."
"Okelah. Nanti kita rencanakan perjalanan itu."
"Daddy dan Mommy akan mendampingi ke sana."
"Ya, ya, ya. Tentu saja, yang harus kita lakukan terlebih dahulu adalah menyiapkan pernikahan kita."
"Lorna sudah meminta kesediaan Rahma dan Grace mengurus perihal itu."
"Kamu sudah bicara dengan mereka?"
Lorna mengangguk.
"Tentu saja akan berkonsultasi kepada Dewa yang menyangkut pernikahan menurut budaya Jawa. Karena Dewa yang mengerti persoalan ini. Dewa yang menentukan harinya."
Dewa mengangguk. Tangannya masih membelai wajah Lorna. Jemarinya menjelajahi bibir Lorna yang ranum. Bentuk bibirnya bagus. Sensual. Membelah di tengah. Melekuk seperti sayap elang yang sedang terbang.
"Dalam kalender perhitungan Jawa. Aku sudah menghitung weton-mu dan weton-ku. Dan jatuhnya pada perkawinan. Wetonmu memang jatuh pada rejeki, karena itu kamu makmur di materi."
"Lorna tak mengerti hitungan-hitungan seperti itu. Apa itu weton?"
"Weton adalah saat kamu keluar dari gua garba Mamimu. Nanti belajar sambil berjalan. Setiap orang memiliki karakter berdasarkan weton, dan hal itu sudah dibawa sejak masih berupa janin. Melihat hari kelahiranmu, sejak itu aku sudah mengenal watak dan tabiatmu dari weton kelahiranmu."
"Karena itu Dewa bisa memahami Lorna. Begitu maksud Dewa?" tanya Lorna serius.
"Ya, tapi bukan berarti, itu menjadi jalan bagiku untuk mengetahui kelemahanmu."
"Lorna, paham, De. Lorna tak pernah berpikiran negatif. Dewa selama ini tak pernah memanfaatkan Lorna."
"Ya, sudah, kalau kamu memahami. Aku memang mencintaimu, tapi aku tak akan pernah memaksakan kehendakmu padaku. Aku tidak ingin memaksamu untuk membalas cintaku. Aku ingin semua berjalan secara alami. Memadukan tabiat dan karakter kita masing-masing untuk saling melengkapi. Aku ingin Lorna memahami Dewa. Dewa juga harus memahami Lorna. Sederhana saja untuk melanggengkan hubungan. Yaitu dengan saling memahami."
"Saling memahami...." ucap Lorna mengulangi kata-kata Dewa.
"Ya, saling memahami. Membangun komunikasi yang baik."
"Lorna merasa bersalah tak membangun komunikasi yang baik denganmu."
"Semua belajar dari pengalaman."
Lorna tersenyum senang. Ucapan Dewa baginya merupakan nasihat. Sejak dulu lelaki ini cara berpikirnya selalu Dewasa. Itu yang membuatnya begitu simpatik, menyukai dan merasa nyaman berada di dekatnya. Kini merasa bahagia bisa berdampingan dengannya. Mendapatkan tak hanya cinta. Apalagi lelaki ini selalu menjaga kesuciannya dengan baik. Sulit mendapatkan lelaki yang tetap tegar menolak ketika ditawari wanita yang menyodorkan keperawanannya.
"Kenapa diam?"
Pertanyaan Dewa menyentakkannya dari lamunan.
"Ah, nggak!"
"Mari kita lihat teman-teman. Kita ajak makan. Mungkin sudah disiapkan Titi."
"Kita makan kepiting dan rajungan yang tadi dibeli waktu kita makan bersama di pantai itu."
"Kamu pesan tadi?"
"Ya, buat makan malam kita."
"Ayo, kita makan!"
Dewa lantas bangkit. Lorna melendot manja meminta gendong di belakang hingga keluar kamar. Grace dan Rahma tertawa-tawa melihat ulah keduanya. Tapi Rahma dan Grace melihat ada bekas tangis di mata Lorna. Keduanya tahu. Dewa selalu bisa menyelesaikan dengan baik bila ada selisih pendapat.
"Kita makan dulu!" ajak Lorna.
"Setelah itu kita nyanyi-nyanyi, ya."
Dewa tertawa.