117. Urung Bercinta.
Keasyik berbincang yang melantur kemana-mana. Tanpa sadar ketiganya kemudian tertidur pulas. Saat terbangun, waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Lorna terkejut, merasa bersalah meninggalkan Dewa sendiri di kamar.
Lantas bergegas kembali ke kamarnya. Takut Dewa beranggapan dirinya sengaja menghindar bercinta, keinginan yang diutarakannya sebelum pergi menemui Grace dan Rahma di kamarnya.
Lorna bersandar pada daun pintu. Memandang Dewa yang terbaring dengan tangan terlipat. Kaki saling menopang. Posisinya seperti sedang menunggunya. Melihat keadaan itu, membuatnya kian merasa bersalah.
Lalu melangkah perlahan ke sisi tempat Dewa berbaring. Dengan lembut dibelainya wajah Dewa, memandanginya dengan tatapan sayu.
"I am sorry..." ucapnya perlahan dengan lembut.
Nafas Dewa nampak teratur, menandakan tidurnya lelap. Ada keraguannya membangunkan, untuk menuntaskan keinginan Dewa mengajaknya bercinta. Tidak tega bila melihatnya tidur nyenyak tidur seperti itu. Apalagi bila mengingat seharian yang dilaluinya demikian melelahkan.
Lorna membelai rambutnya, mencium keningnya, mengecup pipinya, bibirnya. Namun Dewa tetap tak terusik.
"Maafkanlah aku, Dewa. Membuatmu lama menunggu," bisik Lorna dengan suara yang nyaris tak terdengar. Suaranya terdengar berdesah.
Bola mata Lorna mulai berkaca-kaca. Merasa sedih telah mengecewakan. Perasaan bersalah yang kini menyelinap dalam sanubarinya, seperti meninggalkan kesan dirinya seakan menghindarinya untuk bercinta.
Lorna tak menghindar, Dewa. Lorna ketiduran di tempat mereka. Bercintalah denganku sepuasmu, Dewa. Tubuhku kini milikmu. Hanya untukmu. Maafkanlah bila aku telah mengecewakan keinginanmu mengajak bercinta. Perasaan tak nyaman membangun rasa cemas bila Dewa beranggapan bahwa dirinya sengaja menghindar.
Taak bosan menunggu. Lorna berlutut di tepi tempat tidur. Pandangannya tak lepas-lepas memperhatikan wajah Dewa. Hingga Dewa membuka mata, dan melihatnya berlutut di sisi tempat tidur.
"Hai!" sapa Lorna ramah.
"Hai!" balas Dewa, "Maafkan aku ketiduran."
Lorna menggelengkan kepala. Matanya berkaca-kaca. Terharu.
"Dewa yang harus memaafkan, Lorna," suara Lorna lunak.
"Kenapa?"
"Sekarang jam tiga pagi."
Dewa terkejut sesaat. Lebih terkejut lagi saat melihat Lorna bangkit. Lalu perlahan menanggalkan dasternya. Lebih terkesima dengan apa yang dilakukan Lorna yang membuka semua penutup tubuhnya, hingga penutup terakhir teronggok ke atas lantai.
Bagi Dewa jam tiga pagi sudah tentu tak ingin mengorbankan waktu tidur gadis itu hanya untuk memenuhi gairah keinginan mengajaknya bercinta seperti janjinya. Baginya dia tak ingin membuat gadis itu kelelahan bila hal itu harus dilakukannya. Sebab tak ingin waktu sehari untuk syuting menjadi terganggu.
Dewa lantas bangun. Lalu memungut daster Lorna di atas lantai, penutup dada, dan membetulkan celana dalamnya kembali ke tempatnya.
"Kita beristirahat saja?" kata Dewa dengan suara lunak. Dahinya dilekatkan ke dahi Lorna.
Lorna menatap dengan bola mata berkaca-kaca. Bibirnya gemetar berusaha menahan kesedihan, saat Dewa membetulkan kembali kain penutup tubuhnya yang sengaja dilepaskannya.
"Maafkanlah aku, Dewa."
"Kenapa harus minta maaf."
"Telah mengecewakanmu."
"Ah, Dewa tak merasa kecewa."
"Lorna terlambat kembali ke kamar. Lorna ketiduran di sana, sampai lupa pada Dewa yang ingin mengajak bercinta."
Dewa segera memeluknya dengan hangat.
"Ah, sudahlah. Lupakanlah. Masih ada waktu lain. Hari sudah larut. Lebih baik kita lanjutkan tidur. Beberapa jam lagi kita harus melanjutkan syuting."
Lorna menggelengkan kepala dengan lemah di dada Dewa.
Dewa lantas mengangkat tubuh Lorna dan membaringkannya ke tengah tempat tidur. Lalu memeluk dan menempatkan diri bersama-ama di bawah selimut.
"Peluklah aku..." bisik Dewa.
Lorna lalu memeluknya.
"Maafkanlah, Lorna, ya De?"
Dewa tak menjawab. Hanya mengecup bibirnya sejenak.
"Good night!" kata Dewa.
"Good morning, Dewa!"
"Oh, sorry. Hari sudah pagi ya."
Lorna lalu membenamkan wajahnya di bawah leher Dewa. Dadanya sesekali masih tersentak akibat kesedihan yang baru saja melanda dirinya. Kini merasa damai dalam dekapan lelaki yang demikian baik terhadapnya. Lelaki yang tidak egois.