132. Menyendiri Berdua ke Pantai.


Setelah mandi untuk menyegarkan diri, Lorna dan Dewa memutuskan pergi keluar lagi. Tidak adanya kendaraan pribadi yang membuat mereka sulit untuk bisa pergi kemana pun dengan leluasa. Khususnya bagi pribadi Lorna. Namun Dewa mengambil inisiatif menyewa kendaraan selama mereka berada di Singaraja.
Mereka pergi ke sebuah hotel di tepi pantai untuk bersantap saat senja hari.
Di tempat duduk saling berhadapan, sekali-kali Dewa melihat ke luar jendela kaca restoran yang lebar. Cahaya senja kian temaram menimpa wajah Lorna menjadi keemasan. Rambutnya yang coklat nampak kemilau. Dia pun menikmati wajah Dewa yang teduh. Tangannya di genggam oleh tangan Dewa di atas meja. Tangan Dewa balas meremasnya lembut. Ada aliran kedamaian hingga mendinginkan perasaannya.
"Aku hanya ingin meminta maaf padamu, atas sikapku yang berlebihan terhadapmu yang ingin menutup setiap pengeluaran yang kita keluarkan saat di Karangasem."
"Kenapa harus meminta maaf? Itu sudah selesai."
"Aku terbawa perasaan dan emosional."
"Lorna tak melihat Dewa emosional?"
"Aku ingin berterus terang dalam satu hal itu. Sikapku itu mungkin akibat perasaanku terjebak oleh pergunjingan yang tidak menyukaiku."
Lorna tersenyum dan bertanya lunak.
"Apa itu, De? Siapa yang tidak menyukaimu?"
Dewa mengangkat bahu sesaat diiringin alisnya yang turut bergerak tertarik ke atas.
"Kau tentunya sudah tahu. Tak perlu kujelaskan."
Mungkinkah Ronal? Tanya Lorna dalam hati. Lorna masih menunggu Dewa berkata terus terang permasalahan apa yang ingin diungkapkannya.
Dewa mengangkat cangkir. Meminum isinya sesaat. Lorna mengambil tisu dan diberikan padanya untuk membersihkan tepian bibirnya.
Dewa memandangnya tajam setelah beberapa saat diam.
"Aku tidak ingin ada anggapan, aku mencintaimu lantaran kekayaan yang kau miliki. Setiap pembayaran yang kau lakukan tentunya menimbulkan asumsi bahwa aku seakan memanfaatkan itu semua."
"Dewa?"
Dewa memandang lunak ke bola mata Lorna yang berbinar.
"Lakukanlah bila tidak dihadapan siapa pun yang mengenal kita."
"Maafkanlah, Lorna bila begitu."
"Aku tahu, Lorna ingin menyenangkan. Itulah kelemahan bahwa apa yang kita anggap benar belum tentu hasilnya sejalan."
"Terima kasih, Dewa telah menjelaskannya."
Dewa mengelus pipi dan dagunya.
"Masih ada yang ingin kupaparkan kepadamu. Tapi tidak pada saat ini. Perlahan. Satu persatu. Agar penyesuaian sikap kita tidak terkesan dipaksakan."
Lorna tersenyum
"Lorna senang Dewa mengatakan. Lorna akan senang mendengarkannya. Lorna percaya Dewa. Tidak ada maksud merendahkan Dewa terkait masalah pembayaran."
"Oke! Aku tahu. Aku paham. Anggap itu sudah berlalu, seperti yang sudah Lorna bilang tadi." kata Dewa menyela.
Lorna mengangguk.
"Lorna juga tidak ingin membebani keuangan Dewa. Setidaknya membantu meringankan. Jangan sampai hal itu menjadi suatu hambatan."
"Aku tidak bermaksud menghalangi. Bila aku bersamamu biarlah aku yang melakukannya. Bila tidak ada orang yang mengenal kita, Lorna boleh melakukannya, seperti membayar makan dan minum ini."
"Lorna paham sekarang."
"Itu maksudku. Bagaimana kalau kita ke pantai?" tanya Dewa.
Lorna mengangguk, dan membiarkan tangannya dituntun meninggalkan meja, keluar dari restoran untuk melintasi taman hotel yang berada di tepi pantai.
Dewa menggandeng tangannya. Sesekali keduanya bertatapan dan saling memberi senyum. Saat langkah menjejaki pasir, Dewa menarik tangan Lorna agar melingkari pinggangnya, dengan senang Lorna melakukannya, dan meminta Dewa untuk merangkulnya.
"Selendang itu, De..."
"Ya, kenapa?"
"Untuk anak kita?"
"Ya, untuk anak kita. Anak seorang bidadari cantik, yang akan menggunakan selendang itu untuk menggendong dan menghangatkannya."
"Lorna senang sekali."
"Kau bidadariku!"
"Jadi Lorna bukan hanya bidadari Mommy saja."
"Kini kau juga bidadariku, bidadari dari anakku."
"Lorna sudah tidak tahan untuk mempunyai anak darimu."
Dewa tersenyum lalu mengecup dahi Lorna.
"Sudah saatnya kita berdua menata langkah kita ke depan."
Dewa mengangguk.
"Kita lakukan dengan perlahan. Kita masih dalam suasana merayakan pertemuan kita setelah lama berpisah. Aku tidak ingin setiap langkah yang sudah kau jalani menjadi terganggu. Aku pun tidak ingin kau terjebak oleh apa yang boleh dan tidak terhadap sikap dan cara pandangku. Bebaskanlah dirimu dengan hal-hal yang membelenggu, sebagaimana kebebasan yang kau miliki selama sebelum bertemu denganku kembali."
"Ah, Dewa!"
"Benar!"
"Kebebasan yang Lorna maknai tak seperti itu? Bukankah Dewa yang baru mengatakan tentang makna bahwa setiap keinginan hasilnya tidak akan selalu berjalan seiringan?"
"Lorna, seakan tak menerima kebebasan yang kumaknai yang menjadi hak mendasar yang Lorna miliki?"
Lorna menatapnya.
"Bukankah sebaiknya satu perahu hanya ada seorang nakoda, Dewa?"
Dewa diam dengan alasan dan pertanyaan balik yang diberikan Lorna.
"Aku tak ingin membelenggumu."
"Ikatan suatu perkawinan bukankah bermakna belenggu? Bila Lorna setuju dan ingin hidup bersama selamanya, sama artinya Lorna menyetujui hidup terbelenggu. Lorna tidak ingin makna hidup berumahtangga seperti yang dianut orang bule. Yang didasarkan atas persamaan hak semata, yang akan menjadi rapuh bila ego dan kepentingan kemudian menjadi mengemuka bila timbul suatu perselisihan. Tapi Lorna lebih melihat dari diri Dewa pada kepribadian, karakter serta komitmen yang Dewa berikan dalam makna cinta yang Dewa berikan pada Lorna."
Keduanya lantas saling berhadapan. Tangan Lorna merangkul leher Dewa, dan tangan Dewa melingkar dan memeluk pinggang Lorna. Lorna menatapnya.
"Hidup bersamamu tak kumaknai sebagai belenggu, Dewa," kata Lorna dengan suara lembut. "Bertahun-tahun, setiap hari, aku melihat perilaku, kesahajaanmu, perhatian yang Dewa berikan kepada Lorna, sudah terlalu cukup jadi dasar pertimbangan untuk memiliki dan mencintaimu. Forever!"
"Forever?"
"Ya, forever!"
Untuk tidak membuat Dewa memiliki pikiran yang macam-macam sehubungan dengan kekayaan yang dimilikinya, sebenarnya ada keinginan Lorna untuk menjelaskannya. Dia menunggu saat yang tepat. Membuka diri dengan perbincangan persoalan materi tentu langkahnya hari berhati-hati. Dewa sensitif perihal ini. Tetapi mengingat bahwa dirinya kini menjadi bagian dari hidup Dewa, maka tak ada salahnya semua itu harus diutarakan. Tak nyaman bila tak bercerita perihal itu. Di tengah sorotan miring teman-teman yang kurang suka terhadap hubungan mereka. Lorna tak ingin Dewa memendam perasaan tak nyaman.
Oleh karenanya saat di pantai itu. Dalam menjelang keremangan malam. Yang hanya diterangi lampu-lampu pantai. Lorna pun menjelaskannya secara singkat. Apa yang kini dimilikinya dan bagaimana dia memperolehnya.
Dewa pun kemudian mengerti. Tapi semula keberatan bila Lorna harus menceritakannya. Namun, Lorna memaksa untuk menjelaskan dengan singkat.
"Kekayaanku sesungguhnya hibah dari adik perempuan Daddy yang tak memiliki keturunan, yang berjanji pada Daddy bila punya anak, maka apa yang dimilikinya diwariskan ke anaknya bila ia meninggal, dalam hal ini aku. Saat aku lahir, seketika itu saudara perempuan Daddy membuat wasiat. Adik Daddy meninggal dalam suatu kecelakaan pesawat. Umur tujuh belas tahun sesuai isi wasiat. Lorna baru bisa menerima dan menggunakannya, yang berupa saham maupun hasil dari penjualan property. Atas saran Daddy dan Mommy, hibah itu ditanamkan kembali ke berbagai saham perusahaan, surat berharga, deposito dan yang lainnya, antara lain perusahaan di Jakarta."
Dewa mengangguk-angguk.
"Tentu uangmu berkembang. Hanya dari bunga deposito saja, bunga yang kau terima sudah cukup berlebih. Belum lagi gaji yang kau terima setiap bulan. Ah, bukankah kamu juga pemiliknya?"
"Cucu dari adik grandma kuberi saham untuk membantu mengelola perusahaan yang di Jakarta itu."
"Jadi praktis kau tak mengganggu Papi dan Mami? Padahal mereka juga berlebih. Punya perkebunan dan peternakan."
"Ya."
Dewa memandang langit yang gelap. Kerlap-kerlip bintang mulai bermunculan seiring kian merayapnya malam. Lorna ibarat bintang yang bercahaya di langit yang tinggi.
Tangan Lorna dilingkarkan ke pinggang Dewa, udara dingin mulai menyergap. Dewa membalasnya hangat.
"Lorna sedang menawar sebuah bangunan di daerah Kemang."
"Untuk apa?"
"Entahlah, masih belum berpikir matang. Sudah ada rencana dan proposal. Tapi yang penting invest dulu mendapatkan tanahnya. Atau Dewa ada usul?"
Dewa tersenyum menggeleng.
"Bagaimana kalau kita invest di Bali, bikin gallery dan penginapan?"
Dewa tertawa lunak.
"Rencanamu banyak sekali. Itu domainmu. "
"Biar ada lapangan kerja buat teman-teman sekolah kita dulu yang kedengar masih belum beruntung."
"Banyak yang kau pikirkan."
"Lalu apa lagi yang mau Lorna lakukan. Cinta sejati sudah Lorna dapatkan."
Dewa menatap dan Lorna pun demikian. Dewa mengecup sudut bibirnya.
"Jangan tersinggung ya? Cintaku padamu sudah tumbuh sejak kita pertama kali berkenalan di sma. Jauh hari sebelum aku tahu kalau kamu seperti ini, punya segalanya. Juga bukan atas ini semua."
"Lorna tak tersinggung. Lorna tahu, Dewa. Karena itu Lorna berterus terang kepadamu. Semua itu tak berarti bila hidup tanpamu."
Dewa lantas memilin bibir Lorna yang menyambutnya hangat. Angin darat mengibarkan rambut Lorna. Mentari telah berlabuh. Tak ada lagi pekik burung camar di atas riak gelombang untuk mengincar ikan, selain suara pekik gelinjang Lorna saat Dewa menggigit lunak batang lehernya yang jenjang.
"Bawa Lorna kembali ke hotel, Dewa. Bawa Lorna ke tempat tidur..."
Tapi Dewa membawanya ke mobil.
"Kemana kita, Dewa?"
"Maumu kemana? Katanya ke tempat tidur."
"Dewa nakal!"
Lorna memijit dagu Dewa dengan gemas. Dewa tersenyum.
"Bagaimana kalau kita lihat pertunjukkan kesenian. Ada kecak, legong, minum brem?"
"Apa itu brem?"
"Minuman khas Bali, untuk menghangatkan. Kamu kan sudah terbiasa dengan wine?"
"Apa itu wine?"
Dewa lantas memijit hidung Lorna, karena pertanyaannya yang bercanda.
"Tak ada salahnya mencoba. Supaya tahu rasanya. Pernah mencoba?"
"Belum! Oke... oke.... Lorna ikut apa kata Dewa! Sekalian mau mengambil foto-foto suasana etnis?"
Lorna suka diajak petualangan untuk mencoba minuman tradisional.